16 September 2009

Yap Thiam Hien

Yap Thiam Hien:
Kerikil Tajam yang Terhempas


Disebut-sebut sebagai “obor bagi perjuangan keadilan dan HAM”, Yap Thiam Hien sebetulnya lebih pas dijuluki “kerikil tajam yang terhempas”.

Indonesia pernah melahirkan sejumlah pribadi yang tak hanya mencintainya “setengah-mati-separuh-hidup” melainkan juga berhasil memerankan diri sebagai sebuah “kerikil tajam” yang mengganggu, menjengkelkan, sekaligus kerap memancing decak kagum dan haru. Kerikil menjadi tajam dan mengganggu jika ia menyempil di dalam sepasang terompah. Untuk mengganggu laju gerak kaki si pemakai terompah, kerikil memang tak perlu besar dan lancip. Ia hanya perlu berada di sebuah sudut dengan pas. Mungkin di tengah-tengah. Mungkin cukup di dekat tumit.

Dan di dalam sejarah modern Indonesia yang sering tak ramah kepada aturan, tata hukum dan kemanusiaan, Yap adalah salah satu kerikil tajam yang mengganggu dan menjengkelkan itu. Dia paham, di sini dan di mana pun, tegaknya hukum dan HAM bukanlah tujuan. Ia hanya sebuah jalan yang dengan itu orang-orang seperti dirinya percaya Indonesia akan menjadi sebuah bangsa yang berintegritas dan beradab. Dan Yap dengan sadar, karena ia memang seorang mesteer of rechten, ahli hukum, mencoba berbuat sebisanya dengan bergerilya di matra yang ia kenali betul medannya: hukum dan peradilan.

Ia barangkali adalah “obor bagi perjuangan keadilan dan HAM”, tetapi dengan itulah ia mengambil peran historis sebagai “kerikil tajam” bagi negeri yang hingga kematian menjemputnya masih belum juga sepenuhnya ramah pada keadilan dan hak-hak kemanusiaan. Ia, dalam perannya sebagai kerikil, sungguh-sungguh menggangu laju gerak rezim yang sedang kencang-kencangnya berlari mengejar setoran.

Advokat Kepala Batu
Jika hukum, keadilan dan hak asasi adalah sebuah agama, sebut Todung Mulya Lubis suatu ketika, “Yap pasti akan memeluknya.”

Siauw Giok Tjhan, mantan petinggi Baperki, pernah bersaksi. Seperti kita tahu, Yap dan Siauw pernah berseberangan dalam hal bagaimana menempatkan posisi peranakan Tionghoa dalam konstelasi kebangsaan Indonesia. Siauw, yang menguasai Baperki dan didukung Soekarno, mengusung konsep integrasi, sedangkan Yap mengampanyekan gagasan asimilasi.

Ketika G30S meletus ribuan orang yang dianggap terlibat PKI dan dekat dengan kekuasaan Orde Lama ditangkapi, termasuk Siauw. Tetapi reaksi Yap sungguh jauh dari reaksioner. Ia bukannya bersyukur dan bertepuk tangan menyadari bahwa salah satu rival terberatnya di BAPERKI telah dijebloskan ke penjara. Ia malah meradang. Baginya, orang harus dihormati hak-haknya. Tak peduli dia punya keyakinan atau ideologi apapun. Dan Yap tak tinggal diam. Ia mendatangi Kodam Jaya dan bertanya: “Saya (juga) orang Baperki, kenapa tidak ditangkap?”

Hal yang sama ia tunjukkan ketika dengan sukarela ia menjadi pembela Soebandrio, Wakil Perdana Menteri di masa Soekarno, yang dituduh terlibat dalam persitiwa G30S. Tak terbayangkan betapa tak mudahnya menjadi seorang Yap: seorang beretnis menoritas yang keras kepala bertekad membela seorang yang oleh masyarakat kadung dianggap sebagai pentolan G30S yang pantas digantung.

Tetapi Yap jalan terus dengan prinsip-pirinsipnya. Bagi Yap, hukum harus tegak setegak-tegaknya karena dengan itulah yang kuat tak bisa sekenanya bertingkah dan yang lemah bisa hidup dengan tenang tanpa harus takut diinjak dan ditindas.

Itulah sebabnya kenapa tiap kali ia didatangi oleh seseorang yang memintanya menjadi advokat, Yap selalu menyodori para calon kliennya dengan sebuah syarat yang menohok: “Jika saudara hendak menang perkara, jangan pilih saya sebagai pengacara anda, karena kita pasti akan kalah. Tapi jika saudara merasa cukup dan puas mengemukakan kebenaran saudara, maka saya mau menjadi pembela saudara.”

Konsistensi Yap itu sudah teruji oleh zaman, bukan hanya ketika Yap tak memunyai kedudukan saja, melainkan juga ketika Yap sedang menduduki sebuah posisi yang strategis.

Simak saja portofolio Yap ketika menjadi anggota Konstituante mewakili Baperki. Dalam sidang Konstituante 12 Mei 1959, Yap menolak pemberlakuan kembali UUD 1945. Sikap Yap itu tidak hanya berseberangan dengan semua anggota Konstituante yang menyepakati diberlakukannya kembali UD 1945, melainkan juga dengan Baperki, organ yang diwakilinya yang ketika itu mulai merapat ke Presiden Soekarno. Bagi Yap jelas, UUDS 1950 jauh lebih menjamin penegakan HAM ketimbang UUD 1945.

Yap tak pernah surut langkah kendati pihak yang ia tentang makin hari makin kuat saja kekuatan dan kekuasaannya. Ia bahkan menulis sebuah artikel yang isinya menuntut agar Seokarno membebaskan sejumlah tahanan politik seperti Natsir, Roem, Sjahrir, Mochtar Lubis, Subadio dan HJ Princen. Beberapa tahun kemudian ia melakukan hal yang sama kepada pemerintah Orde Baru agar membebaskan sejumlah anggota PKI yang dipenjara tanpa melalui proses pengadilan.

Dalam hal membela prinsip keadilan, Yap adalah kepala batu. Sebagai seorang advokat, ia seperti batu karang di tepian laut. Kukuh. Tak tergoyahkan.

Kerikil Tajam yang Terhempas
Fiat Justitia Ruat Caelum. Tegakkan keadilan sekalipun langit akan runtuh. Yap adalah seorang praktisi hukum yang tahu benar pahitnya menjadi orang yang menegakkan prinsip menggetarkan itu dengan tanpa cadang.

Sebagai praktisi hukum yang tak pernah pandang bulu, Yap tentu saja punya banyak seteru. Sikapnya yang tak pernah jera mengritik pemerintah (baik Orde Baru dan orde Lama) yang menginjak-injak hukum dan keadilan membuat Yap selalu berada dalam pengawasan rezim. Hasilnya jelas: Yap tiga kali ditangkap dan dipenjarakan.

Pada akhirnya Yap memang menjadi tipikal dari advokad model lama yang menjunjung tinggi keadilan sekalipun hendak runtuh dan selalu menolak menjadi calo hukum yang rela melakukan apa saja demi memenangkan perkara kliennya. Ia rela firma-nya sepi dari klien. Sampai-sampai ada seorang advokat yang pernah menyindirnya dengan kalimat: “Jika ingin kalah berperkara, datanglah ke firma-nya Yap.”

Tak mudah menjadi seorang Yap atau menjadi anggota keluarganya. Khing, istri terkasihnya, tahu betul bagaimana sukarnya menjadi istri seorang Yap Thiam Hien. Sudah secara politik selalu terancam, secara ekonomi pun keluarga Yap selalu berada dalam kondisi serba kekurangan.

Ketika Yap ditahan dalam kasus Malari, Khing menguras sisa tabungan keluarga untuk membeli sebuah mobil untuk dijalankan sebagai taksi jam-jaman. Tak jarang Khing menukar sejumlah barang yang dimilikinya, termasuk minuman keras bingkisan Natal dan Tahun Baru, untuk mendapatkan sejumlah barang kebutuhan sehari-hari.
Di senja usianya, Yap dipaksa untuk terus-menerus menelan kepahitan ketika melihat dunia peradilan di Indonesia yang makin amburadul. Di tahun-tahun terakhir hidupnya, sekitar pertangahan dasawarsan 1980, Yap menyaksikan dengan masygul munculnya sebuah fenomena baru yang disebut dengan mafia peradilan.

Seperti yang digambarkan Daniel Lev dalan obituari yang dimuat di majalah Indonesia Review, di usianya yang makin renta, Yap merasa ia telah hidup di dunia yang tak pernah memberinya kesempatan untuk mengubah keadaan. Sebagai sosok yang berambisi mengubah dunia melalui dunia peradilan, Yap harus terhempas ke dalam labirin kekecewaan, berpindah dari kekecewaan yang satu ke kekecewaan yang lain.



Selengkapnya >>

Model Ideal Penyelesaian Sengketa

MENCARI MODEL IDEAL PENYELESAIAN SENGKETA,
KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PERADILAN PERDATA
DAN UNDANG UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999



oleh Budhy Budiman

Pendahuluan

Perselisihan atau pertengkaran atau persengketaan merupakan suatu keadaan yang tidak dikehendaki oleh setiap orang sehat akal dan fikiran. Artinya jika ada orang yang senang berselesih/bersengketa, dapat dipastikan bahwa orang itu tidak waras.

Akan tetapi dalam pergaulan di masyarakat, dimana kita hidup di tengah orang yang berbeda tabiat dan kepentingan, kita pasti tidak akan bisa sama sekali tidak berhadapan dengan perselisihan. Perselisihan itu bisa disebabkan oleh hal yang sepele, dan tidak mempunyai akibat hukum apapun, seperti perbedaan pendapat dengan isteri/suami tentang penentuan waktu keberangkatan ke luar kota atau bisa pula merupakan persoalan serius dan mempunyai akibat hukum, misalnya tentang batas tanah dengan tetangga atau perselisihan atas perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.

Suatu perselisihan itu muncul kepermukaan, antara lain disebabkan karena masing-masing merasa benar, merasa berhak atas apa yang diperselisihkan. Sebab kalau salah satu pihak dari yang berselisih merasa bersalah dan tahu tidak berhak atas sesuatu yang diperselisihkan, perselisihan itu tidak ada atau berakhir tatkala ketidakbenaran dan ketidakberhakkannya disadari.

Di dalam pergaulan masyarakat, kedamaian adalah merupakan idaman setiap anggota masyarakat. Kedamaian akan terwujud antara lain kalau aneka kepentingan yang berbeda dari masing-masing anggota masyarakat tidak saling bertabrakan/bertentangan. Pertentangan kepentingan itulah yang menimbulkan perselisihan/persengketaan dan untuk menghindari gejala tersebut, mereka mencari jalan untuk mengadakan tata tertib, yaitu dengan membuat ketentuan atau kaedah hukum, yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat, agar dapat mempertahankan hidup bermasyarakat. Dalam kaedah hukum yang ditentukan itu, setiap orang diharuskan untuk bertingkah laku sedemikaian rupa, sehingga kepentingan anggota masyarakat lainnya akan terjaga dan dilindungi. Apabila kaedah hukum itu dilanggar, maka kepada yang bersangkutan akan dikenakan sanksi atau hukuman.

Adapun yang dimaksudkan dengan kepentingan seperti disebut di atas adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata yang diatur dalam hukum perdata materil. Hukum perdata (materil) itu menjelma dalam undang-undang atau ketentuan yang tidak tertulis, merupakan pedoman bagi masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat. Ketentuan-ketentuan seperti: "Siapa yang mengambil barang milik orang lain dengan niat untuk dimiliki sendiri secara melawan hukum....dan sebagainya", "siapa yang karena salahnya menimbulkan kerugian kepada orang lain diwajibkan mengganti kerugian kepada orang lain tersebut", itu semuanya merupakan pedoman atau kaedah yang pada hakekatnya bertujuan untuk melindungi kepentingan orang.1

Pelaksanaan dari hukum perdata (materil) dapat berlangsung secara diam-diam diantara para pihak yang berinteraksi, tanpa harus melalui instansi resmi. Namun acapkali terjadi hukum perdata (materil) itu dilanggar, sehingga ada pihak yang dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat. Dalam hal ini maka hukum materil perdata yang telah dilanggar itu haruslah dipertahankan dan ditegakkan.

Untuk melaksanakan hukum perdata (materil) terutama dalam hal ada pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum perdata (materil) dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan hukum lain, yaitu yang disebut hukum formil atau hukum acara perdata.

Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materil dengan perantaraan kekuasaan negara. Perantaraan negara dalam mempertahankan dan menegakkan hukum perdata materil itu terjadi melalui peradilan. Cara inilah yang disebut dengan Litigasi.

Di samping melalui Litigasi, juga dikenal alternatif penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan yang lazim disebut non litigasi. Hal yang terakhir ini dimungkinkan selain karena peraturan perundang-undangan, juga karena pada dasarnya dalam cara Litigasi, inisiatif berperkara ada pada diri orang yang berperkara (dalam hal ini penggugat). Dengan kalimat lain ada atau tidak adanya sesuatu perkara, harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa, bahwa haknya atau hak mereka dilanggar, yaitu oleh penggugat atau para penggugat.2

Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hukum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded). Lamban dan buang waktu (waste of time). Biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum. Atau dianggap terlampau formalistik (formalistic) dan terlampau teknis (technically).3

Mengingat hal itu, penulis dengan rendah hati mengetengahkan pandangan kritis terhadap praktek peradilan, untuk secara bersama-sama mencari model penyelesaian sengketa yang lebih baik.

Sistem Peradilan Harapan dan Kenyataan

Penyelesaian perselisihan (perkara) perdata yang sederhana, cepat dan murah adalah dambaan kita semua. Dambaan itu disadari oleh pembentuk undang undang di negara Republik Indonesia yang kita cintai ini, sebab pada tanggal 17 Desember 1970 itu dinyatakan dalam pasal 5 ayat 2 Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 , yang berbunyi sebagai berikut: "Dalam perkara perdata Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan."

Penyebutan angan-angan itu juga termuat dalam Penjelasan Umum Angka 8 dari UU nomor 14/1970 sebagai suatu moto peradilan, yang secara lengkap berbunyi: "Ketentuan bahwa: PERADILAN DILAKUKAN DENGAN SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN" tetap harus dipegang teguh yang tercermin dalam undang undang tentang Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata yang termuat peraturan-peratuiran tentang pemeriksaan dan pembuktian yang jauh lebih sederhana."

Namun angan-angan tersebut ternyata sangat sulit untuk diwujudkan dalam kenyataan, bahkan dalam praktiknya pelaksanaan peradilan perdata semakin jauh dari angan-angan. Terbukti pada belakangan ini muncul suara parau dan agak sumbang mencerca lembaga peradilan sebagai penyelesai masalah yang menimbulkan masalah. (tidak seperti slogan peradilan mengatasi masalah tanpa masalah).

Kritik tajam terhadap lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya yang dianggap terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), mahal (very expenxive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum serta dianggap terlampau formalistik (formalistic) dan terlampau teknis (technically) menurut Yahya Harahap4 pada masa sekarang bersifat mendunia. Sama-sama mendapat lontaran kritik di semua negara.

Itu sebabnya masalah peninjauan kembali perbaikan sistem peradilan ke arah yang efektif dan efisien, terjadi dimana-mana. Sistem peradilan Inggris dianggap lambat dan mahal (delay and expensive), sehingga penyelesaian perkara yang dihasilkan dianggap putusan yang tidak adil (injustice). Bahkan muncul kritik yang mengatakan bahwa proses perdata dianggap tidak efisien dan tidak adil (civil procedure was neither efficient no fair).

Apabila kritik terhadap peradilan itu benar adanya, maka diperlukan perbaikan-perbaikan. Secara menarik Satjipto Rahardjo5 menguraikan agar pengadilan dapat menjalankan fungsinya sesuai harapan, yaitu pertama-tama para warga masyarakat haruslah bergerak untuk memanfaatkan jasa yang dapat diberikan oleh lembaga ini. Mereka harus senantiasa bersedia untuk membawa perkara-perkaranya ke depan pengadilan untuk diselesaikan.

Ada bermacam-macam alasan yang dapat menjadi pendorong sehingga warganegara bersedia untuk membawa perkara-perkaranya itu. Alasan-alasan tersebut diantaranya adalah:
• Kepercayaan, bahwa di tempat itu mereka akan memperoleh keadilan seperti mereka kehendaki.
• Kepercayaan, bahwa pengadilan merupakan lembaga yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup dan nilai-nilai utama lainnya lagi.
• Bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia.
• Bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar-benar memperoleh perlindungan hukum.

Sementara itu pada tahun 1985 Lord Hailsham (dibantu oleh sebuah panitia),6) mengemukakan usul perbaikan sistem peradilan, terutama yang berkenan dengan proses penyelesaian perkara perdata dan bisnis. Usul yang dikemukakan, mencoba memadu unsur-unsur sistem “manajemen” kedalam acara perdata. Dengan harapan akan terwujud suatu sistem peradilan yang efesien dan produktif. Usul yang dikemukakan Lord Hailsham ini, oleh sementara kalangan dianggap proposal dan radikal (radical proposal).

Usul tersebut antara lain :
• Penggabungan peradilan tingkat pertama (country court) dengan peradilan tingkat banding (high court). Kedua tingkat peradilan tersebut “terintegrasi” yang disebut dengan “one court system” atau “unified court system”, atau disebut juga “one court entry system”.
• “Full pre-trial disclosure”. Maksudnya, pada saat gugatan diajukan, sekaligus dibarengi dengan pengajuan bukti-bukti, termasuk keterangan para saksi (Witness statements). Jalannnya pemeriksaan perkara diatur dengan sistem manajemen, berupa “time takle” yang terprogram, agar dapat dihindari biaya mahal dan pemeriksaan yang berlarut-larut.
• Untuk mencapai produktivitas penyelesaian perkara, diperlukan penambahan anggaran biaya untuk membiayai tambahan “jam persidangan setiap hari” (extra hour’s setting per day) pada setiap tingkat peradilan. Paling tidak, harus ada penambahan ekstra sidang 25% dari biasa.
• Mengembangkan sistem baru, berupa “in court arbitration system”. Sistem ini perpaduan proses ligitasi dengan arbitrase. Kasus gugat perdata yang nilai gugatan antara å.1.000 sampai å.5.000.
• diselesaikan melalui arbitrase yang bertindak sebagai arbitrater ialah hakim sendiri dengan demikian, putusan yang dijatuhkan langsung “final and banding” dan tertutup upaya banding dan kasasi.

Beberapa Alternatif Penyelesaian Sengketa

Mekipun perselisihan atau sengketa merupakan sesuatu yang tidak dikehendaki, pada kenyataannya sulit untuk dihindari meskipun derajat keseriusan berbeda-beda. Pada dasarnya perselesihan yang terjadi dalam masyarakat diselesaikan secara musyawarah mufakat Pengadilan sebagai salah satu cara penyelesaian yang paling populer akan selalu berusaha untuk dihindari, karena selain proses dan jangka waktunya yang relatif lama dan berlarut-larut serta dengan berbagai kelemahan yang telah dikemukakan di atas.

Apabila kita baca rumusan pasal 1 angka 10 dan alenia ke sembilan dari Penjelasan Umum Undang Umndang nomor 30 tahun 1999, dikatakan bahwa masyarakat dimungkinkan memakai alternatif lain dalam melakukan penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Sementara itu yang dimaksud alternatif penyelesaian sengketa adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.

Alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut akan segera diuraikan di bawah ini.

1. Konsultasi
Meskipun konsultasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa tersebut dalam Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, namun tidak ada satu pasalpun yang menjelaskannya.
Dengan mengutif Black’s law Dictionary, Gunawan dan Widjaya dan Ahmad Yani7) menguraikan bahwa pada prinsipnya Konsultasi merupakan tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yang merupakan “konsultasi”, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang mengharuskan si klien mengikuti pendapat yang disampaikan konsultan. Jadi hal ini konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.

2. Negosiasi dan Perdamaian
Menurut pasal 6 ayat 2 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 pada dasarnya para pihak dapat berhak untuk menyelesaiakan sendiri sengketa yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak. Negosiasi adalah mirip dengan perdamaian sebagaimana diatur dalam pasal 1851 s/d 1864 KUH Perdata, dimana perdamaian itu adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan mana harus dibuat secara tertulis dengan ancaman tidak sah. Namaun ada beberapa hal yang membedakan, yaitu:
Pada negosiasi diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan Penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang bersengketa. pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang bersengketa.
Perbedaan lain adalah bahwa negosiasi merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan pengadilan dilakukan maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

3. Mediasi
Berdasarkan pasal 6 ayat 3 Undang Undang Nomor 39 tahun 1999, atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan “seorang atu lebih penasehat ahli” maupun melalui seorang mediator. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah pinal dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik,. Kesepakatan tertulis wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilakasanakan dalam waktu lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
Mediator dapat dibedakan:
• mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak
• mediator yang ditujuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak.

4. Konsiliasi dan perdamaian
Seperti pranata alternatif penyelesaian sengketa yang telah diuraikan di atas, konsiliasipun tidak dirumuskan secara jelas dalam Undang Undang nomor 30 tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakan proses legitasi, melainkan juga dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berjalan, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa dimana telah diperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.8)

5. Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase
Pasal 52 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 menyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari Lembaga Arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari pengertian tentang Lembaga Arbitrase yang di berikan dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang nomor 30 tahun 1999:
“Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”
Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.

6. Arbitrase
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui artibrase tetap dipebolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.
Menurut pasal 1 angka 1 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:

Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjain tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo) atau Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut pasal 5 ayat 1 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu ayat 5 (2) nya memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
Dalam penjelasan umum Undang Undang nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan.

Keunggulan itu adalah:
dijamin kerahasiaan sengketa para pihak dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif para pihak dapat memilih arbiter yang menurut pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

Menurut Prof. Subekti9) bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa ia dilakukan:
• dengan cepat
• oleh ahli dari
• secara rahasia
Sementara itu HMN Purwosutjipto10) mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah:
• Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
• Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
• Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
• Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perushaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.

D. Penutup
Di tengah runtuhnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan, kiranya perlu diusahakan untuk melakukan perbaikan, baik pada aturan perundang-undangannya maupun sarana dan prasarananya, termasuk pula didalamnya moralitas (ini mungkin yang paling penting) sumberdaya manusia yang terlibat secara langsung dalam peradilan. Meskipun lembaga peradilan sebetulnya merupakan suatu yang asing bagi bangsa Indonesia karena ia diperkenalkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, tapi faktanya dan keberadaannya sudah tidak dapat dihindari.
Sebagai suatu lembaga terdepan yang menjadi cermin dimana orang dapat melihat kehidupan hukum di Indonesia dijaga, dipelihara agar tidak mengalami kemunduran serta cacad. Dalam hubungan ini, maka kemorosotan dan cacad apapun juga yang dialamatkan ke Pengadilan, seperti korupsi dan lain-lain sedapat mungkin dicegah. Usaha itu adalah usaha besar yang perlu didahulukan secara terus menerus.
Lembaga lain, seperti Konsultasi, Negosiasi, Konsiliasi dan Arbitrase sebagai pranata alternatif penyelesaian sengketa yang didahulukan berdasarkan Undang Undang nomor 30 tahun 1999 perlu dikembangkan dan dimasyarakatkan, karena pada dasarnya kita tidak ingin bersentuha dengan konflik, bahkan, numpuknya perkara di Badan Peradilan, lambat tapi pasti, kalau lembaga-lembaga alternatif Penyelesaian sengketa tersebut akrab di masyarakat, Insya Allah bisa dikurangi.

DAFTAR PUSTAKA
R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Jakarta: BPHN-Binacipta, 1981.
Soetjipto Rahardjo, Perumusan Hukum di Indonesia, Bandung: Alumni, 1978.
-----------------, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980
-----------------, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Bandung: Alumni, 1976.
HMN Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang, jilid 8, Jakarta: Jambatan, 1988.
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997.
-----------------, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahn Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997.
Agnes M. Toor dkk, Arbitrase di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra Adutya Bakti, 1996.
Ny. Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oerip Kartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 1995.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1988.
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Jakarta: Rajawali Press, 2000.


Selengkapnya >>

Hukuman Mati adalah Pelanggaran HAM

Siaran Pers Bersama

Hukuman Mati adalah Pelanggaran Prinsip Kemanusiaan dan Konstitusi RI !
Kita patut merasa khawatir dengan makin banyaknya penerapan hukuman mati. Pada periode Januari-Maret 2006 ada 13 orang dalam proses hukum yang dituntut dengan hukuman mati dan 5 di antaranya divonis hukuman mati ( Lihat Lampiran Kasus-kasus Hukuman Mati Sepanjang 2006 ). Deret ini ditambah lagi dengan jumlah 34 terpidana mati yang proses hukumnya sudah final dan segera menunggu eksekusi mati ( Lihat Lampiran Perkembangan Praktek Hukuman Mati di Tahun 2005 dan Terpidana Mati yang Segera Dieksekusi ). Mereka umumnya terpidana mati untuk kasus narkoba, pembunuhan, dan terorisme. Dalam waktu terdekat ini terpidana mati yang segera dieksekusi adalah Fabianus Tibo, Marinus Rowu, dan Dominggus da Silva. Ketiganya dinyatakan terbukti sebagai dalang utama konflik komunal di Poso.

Atas dasar bahasa nurani kemanusian, kami di sini menentang keras pelaksanaan hukuman mati! Ada 2 alasan dasar mengapa kami menolak hukuman mati. Pertama , atas dasar prinsip kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia/HAM. Kedua , atas dasar realitas politik hukum di Indonesia yang masih tidak netral dan korup.
Atas dasar prinsip kemanusiaan yang tercantum dalam berbagai hukum/perjanjian HAM internasional -di mana Indonesia juga menjadi negara pesertanya- hukuman mati harus ditolak dalam hal:

1. Hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup ( right to life ). Hak fundamental ( non-derogable rights ) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana. Indonesia sendiri ikut menandatangani Kovenan Internasional Hak-hak Sipil Politik, yang secara jelas menyatakan hak atas hidup merupakan hak setiap manusia dalam keadaan apapun dan adalah kewajiban negara untuk menjaminnya.

2. Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, penerapan hukuman mati jelas melanggar Konstitusi RI UUD 1945 sebagai produk hukum positif tertinggi di negeri ini. Pasal 28A UUD '45 (Amandemen Kedua) menyatakan:
”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Pasal 28I ayat (1) UUD '45 (Amandemen Kedua) menyatakan:
”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Hak hidup ini kembali dinyatakan dalam Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia:
”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Atas dasar pertimbangan politik hukum di Indonesia , hukuman mati harus ditolak karena:

1. Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan aparatusnya yang bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang salah. Kasus hukuman mati Sengkon dan Karta yang lampau di Indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita. Hukum sebagai sebuah institusi buatan manusia tentu tidak bisa selalu benar dan selalu bisa salah.

2. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingakan dengan jenis hukuman lainnya. Kajian PBB tentang hubungan hukuman mati ( capital punishment ) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainnya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku.

3. Praktek hukuman mati di Indonesia selama ini masih bias kelas dan diskriminasi, di mana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius/luar biasa. Para pelaku korupsi, pelaku pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban yang jauh lebih tinggi dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis bahkan dituntut hukuman mati.

4. Penerapan hukuman mati juga menunjukkan wajah politik hukum Indonesia yang kontradiktif. Salah satu argumen pendukung hukuman mati adalah karena sesuai dengan hukum positif Indonesia . Padahal semenjak era reformasi/transisi politik berjalan telah terjadi berbagai perubahan hukum dan kebijakan negara. Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi hukum juga menegaskan pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat (1) UUD '45 (Amandemen Kedua) menyatakan:
”hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

5. Sikap politik pemerintah terhadap hukuman mati juga bersifat ambigu. Pemerintah RI sering mengajukan permohonan secara gigih kepada pemerintah Arab Saudi untuk tidak menjalankan hukuman mati kepada para WNI-nya di luar negeri, seperti pada kasus Kartini, seorang TKW, dengan alasan kemanusiaan. Namun hal ini tidak terjadi pada kasus hukuman mati terhadap WNI dan WNA di dalam negeri RI.
Rekomendasi:

1. Untuk menghentikan berlangsungya eksekusi bagi terpidana hukuman mati dalam waktu dekat, perlu adanya upaya intervensi politik dari Presiden seperti dengan melakukan moratorium hukuman mati.

2. Secara strategis jangka panjang, perlu dilakukan pencabutan hukuman mati di berbagai produk hukum Indonesia , mulai dari KUHP hingga UU yang relevan. Upaya ini bisa dilakukan melakukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi.

3. Presiden harus segera menandatangani/mengaksesi Kovenan Internasional Sipil Politik, berikut kedua Protokol Tambahannya (Optional Protocol I & II).

4. Menyerukan kepada masyarakat luas untuk membuat petisi menolak pemberlakuan hukuman mati ke Presiden/DPR.

Jakarta , 6 April 2006

Koalisi Anti Hukuman Mati

Elsam, LBH Jakarta, PMKRI, PBHI, Ciliwung Merdeka, Setara Institute, HRWG, LMND, PRD, CC GKST, Padma Indonesia, IMMADEI, Kamtri, GMNI UKI, Novico, IKOHI, KontraS, KOMPAK, dan Individu-individu lainnya




Selengkapnya >>

01 September 2009

Labelisasi & Penetapan Harga Obat

Etika kedokteran memberikan kewenangan kepada seorang dokter untuk mendiagnosa penyakit dan sekaligus menuliskan berbagai merek obat bagi penyakit tersebut dalam suatu media yang disebut resep. Dalam kondisi ini, seorang dokter memegang peranan yang sangat penting dalam pemasaran suatu produk obat, khususnya obat resep. Setelah resep diperoleh, pasien dapat menebus obatnya di apotek ataupun di toko-toko obat yang bisa membaca resep tersebut.

Bagi sebagian orang yang berpenghasilan pas-pasan, saat-saat menebus resep merupakan saat yang menegangkan karena membayangkan mahalnya harga obat di Indonesia. Konsumen, dalam hal ini pasien, juga tidak memiliki pilihan lain selain menebus obat-obatan sebagaimana resep tersebut karena dipaksa percaya dengan merek obat yang direkomendasikan para dokter.

Faktor transparansi yang kurang dituding menjadi alasan tingginya harga obat di Indonesia, ditambah dengan daya beli masyarakat yang rendah, mengakibatkan masyarakat dalam keadaan tertentu enggan menebus resep dokter. Tingkat pengeluaran masyarakat Indonesia untuk kesehatan masih rendah dibandingkan negara lain, yaitu sebesar $5/Kapita/tahun dibanding $12 di Malaysia dan $40 di Singapura.

Berdasarkan kenyataan ini, sebenarnya potensi pasar farmasi Indonesia cukup menjanjikan, namun belum terkelola dengan baik. Potensi pasar yang yang besar tersebut seharusnya dapat ditingkatkan agar dapat meningkatkan kesejahteraan sejalan dengan peningkatan daya beli penduduk Indonesia yang diharapkan akan terjadi sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional.

Sejalan dengan maksud tersebut, pada 7 Februari 2006, Departemen Kesehatan mengeluarkan 2 (dua) kebijakan penting bagi industri farmasi, yaitu Kepmenkes No. 69/2006 tentang Pencantuman Harga Eceran Tertinggi di Label Obat dan Kepmenkes No. 68/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pencantuman Nama GenerikPada Label Obat. Dalam penerapan kebijakan ini, khususnya Kepmenkes No. 69/2006, berbagai suara pro dan kontra mulai bermunculan. Ada pelaku usaha yang menolak, dan ada yang menerima kebijakan ini dengan alasan tersendiri.

Dinamika yang begitu kuat dalam penerapan kebijakan ini, telah mendasari KPPU untuk melakukan suatu tinjauan dan analisa mendalam atas kebijakan Departemen Kesehatan dalam pencantuman harga eceran tertinggi (HET) pada label obat, baik dari sisi kebijakan pemerintah maupun sisi kepentingan pelaku usahanya.

Industri Farmasi Indonesia

Industri farmasi Indonesia saat ini telah mengalami peningkatan dari sisi nilai penjualan nasional dengan posisi sebesar Rp 23,6 trilyun. Namun dari sisi pertumbuhan, industri farmasi Indonesia mengalami trend penurunan dari 32% pada tahun 2000 menjadi 13,1% pada tahun 2005. Ini menunjukan bahwa secara jumlah, permintaan atas obat mengalami penurunan pertumbuhan dari sisi kuantitas. Dari sudut keterjangkauan secara ekonomis, harga obat di Indonesia umumnya dinilai mahal dan struktur harga obat tidak transparan.

Penelitian WHO menunjukkan perbandingan harga antara satu nama dagang dengan nama dagang yang lain untuk obat yang sama, berkisar 1:2 sampai 1:5. Artinya, harga obat generik bermerk dapat mencapai 5 kali harga obat generiknya. Penelitian di atas juga membandingkan harga obat dengan nama dagang dan obat generik menunjukkan obat generik bukan yang termurah. Keadaan ini antara lain menggambarkan betapa pentingnya kebijakan pemerintah mengenai penetapan harga obat (pricing policy).

Penelitian Departemen Kesehatan pada tahun 2005 juga menunjukkan hal yang menarik, dimana mereka menilai bahwa harga obat di Indonesia saat ini sangat bervariasi. Harga di apotek berdasarkan pengamatan cenderung beragam antar apotek satu dengan apotek lainnya. Sebagai contoh, Amoxyl 250 gram, yang perbedaan harganya berkisar antara Rp 1720 hingga Rp 2994 per butir. Kemudian Baquinor 500 produksi Sanbe Farma, harga yang diberikan di berbagai apotek dan rumah sakit juga sangat bervariasi.

Secara keseluruhan, pemerintah menyimpulkan bahwa terlihat perbedaan harga yang sangat signifikan antar berbagai merek obat, dimana perbedaan antara harga minimal dan maksimal cukup beragam. Secara rata-rata, perbedaan harga tersebut mencapai 44,25%. Namun apabila diperhatikan secara individual, terlihat bahwa ada rentang yang sempit dan yang sangat besar antar berbagai jenis obat. Sebagai contoh, Losartan 500, perbedaan harganya cukup sempit yaitu antara Rp 7700 dan Rp 9305 atau 20,84%. Disisi lain, Siprofloxacin 500, perbedaan harganya sangat besar yaitu antara Rp 340 dan Rp 2142 atau sebesar 530,56%.
Perbedaan harga yang tinggi inilah yang dijadikan landasan bagi pemerintah untuk memangkas harga obat ditingkat apotek melalui aturan/kebijakan pencantuman harga eceran tertinggi (HET).

Pengaturan Kebijakan

Secara substansial, kebijakan ini mewajibkan pabrik obat untuk mencantumkan HET pada label obat. HET ini dihitung berdasarkan Harga Netto Apotik (HNA) ditambah PPN 10% dan margin apotik sebesar 25%. Berdasarkan kebijakan ini, HET dicantumkan pada label obat sampai pada satuan kemasan terkecil dan berlaku pada obat bebas dan obat ethical (obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter).
Lebih lanjut pencantuman HET ini dilakukan dengan ukuran yang cukup besar dan warna yang jelas serta tempat yang mudah terlihat sehingga mudah dibaca konsumen. Pencetakan dilakukan dengan menggunakan cap dengan tinta permanen yang tidak dapat dihapus ataupun dicetak langsung pada kemasan.

Kebijakan ini mulai diberlakukan 6 (enam) bulan semenjak ditetapkannya kebijakan ini, yaitu pada tanggal 7 Februari 2006. Apotik dan Pedagang besar Farmasi dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal tersebut, masih diperbolehkan memperdagangkan obat tanpa label dengan HET tersebut.

Hal utama yang perlu diperhatikan dalam menganalisa kebijakan ini adalah sejauh mana Pemerintah, dalam hal ini Menteri Kesehatan, memiliki kewenangan untuk menetapkan Harga Eceran Tertinggi (selanjutnya disebut dengan �HET�) terhadap obat-obatan, baik obat bebas maupun obat resep, serta sejauh mana kewenangan Pemerintah menetapkannya. Berdasarkan temuan KPPU, pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan, belum diberikan kewenangan dalam mengatur harga obat-obatan, khususnya obat bebas dan obat resep. Yang diatur oleh undang-undang adalah kewajiban pemerintah untuk menyediakan bahan baku obat, obat-obatan, maupun peralatan kesehatan yang dibutuhkan dalam menyelanggarakan upaya kesehatan.

Kewenangan pemerintah dalam pengaturan harga obat sebenarnya sangat kecil. Dibandingkan dengan ribuan jenis obat yang beredar, Pemerintah hanya mempunyai kewenangan mengatur harga obat yang masuk dalam kategori Daftar Obat Esensial Nasional (selanjutnya disebut �DOEN�) yang diperbarui setiap dua tahun sekali. Dari 232 jenis obat generik yang ada di Indonesia, yang masuk dalam DOEN hanya 153 jenis. Sisanya tidak termasuk dalam kategori obat esensial sehingga harganya ditentukan mekanisme pasar bersama dengan obat bebas, obat branded generic dan obat paten.

Berbeda dengan aturan kewenangan Pemerintah dalam mengatur harga obat, aturan kewajiban pencantuman HET justru dapat dikaitkan dengan undang-undang kesehatan, khususnya Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, khususnya pada Bab VII tentang Penandaan dan Iklan. Hal ini disimpulkan dari pencantuman kata-kata �sekurang-kurangnya� pada keterangan dalam penandaan dan informasi persediaan farmasi. Walaupun aturan di atas tidak menyebutkan kewajiban pencantuman HET pada kemasan obat atau persediaan farmasi, namun dengan adanya pernyataan ”sekurang-kurangnya” tersebut, aturan pencantuman label menjadi fleksibel dan dapat ditambahkan.

Dengan informasi demikian, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah memiliki kewenangan untuk meminta pelaku usaha untuk mencantumkan informasi tambahan yang dibutuhkan dalam kemasan obat, baik itu berupa nama generik obat tersebut, maupun HETnya.

Uji Dampak Terhadap Persaingan

Pengukuran dampak persaingan atau competition assessment menyediakan informasi yang membantu analisa biaya dan manfaat yang dilakukan atas suatu kebijakan, yang diidentifikasi melalui metode regulatory impact analysis (RIA). Sehingga dengan assessment ini, informasi yang dihasilkan oleh RIA akan semakin lengkap dan dapat diandalkan.

Competition assessment dilakukan melalui dua tahapan. Tahap pertama, pengambil kebijakan harus menyaring perilaku persaingan yang akan memberikan indikasi awal bahwa suatu kebijakan atau usulan kebijakan beresiko mempengaruhi peta persaingan. Tahap kedua, yaitu bila hasil penyaringan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan tersebut mempengaruhi persaingan, maka pengambil kebijakan harus mengumpulkan informasi tambahan dan melaksanakan competition assessment yang lebih mendalam.

Dalam pengujian competition assessment yang sederhana, digunakan 9 (sembilan) pertanyaan yang harus ditanyakan atas suatu kebijakan atau usulan kebijakan. Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pertanyaan ”Benar-Salah” atau ”Ya-Tidak”. Pertanyaan tersebut meliputi pertanyaan tentang struktur pasar, pengaruh biaya regulasi, biaya tambahan bagi pemain baru, hambatan masuk pasar, perubahan jumlah dan ukuran pelaku usaha, sifat teknologi, dan perubahan cara bersaing.

Hasil Pengujian

Dengan berdasarkan hasil competition assessment, dapat disimpulkan bahwa terhadap produsen, pelaksanaan Kepmenkes No. 069/2006 tidak berdampak terhadap persaingan usaha diantara produsen. Terhadap distributor, pelaksanaan kebijakan berdampak dalam hal tambahan biaya akibat regulasi, tambahan biaya transaksi yang kurang menguntungkan apabila dibandingkan dengan perusahaan baru, dan pengembangan teknologi. Khusus terhadap apotek, pelaksanaan kebijakan berdampak dalam hal tambahan biaya akibat regulasi, tambahan biaya transaksi yang kurang menguntungkan apabila dibandingkan dengan perusahaan baru, pengembangan teknologi, dan perubahan cara bersaing.

Secara keseluruhan, data yang dimiliki menunjukkan bahwa Kepmenkes No. 69/2006 belum berdampak terhadap persaingan di industri farmasi secara keseluruhan. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa analisa yang dilakukan terbatas pada data-data umum yang dimiliki dan bukan berdasarkan data yang sangat spesifik.

Dengan kondisi tersebut, keinginan Pemerintah untuk mencantumkan label HET pada setiap kemasan obat dapat dibenarkan. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah kewenangan Pemerintah dalam mengatur harga dengan menetapkan formulasi HET sebagaimana kebijakan tersebut. Karena berdasarkan informasi dan data yang dimiliki, Pemerintah belum memiliki kewenangan dalam mengatur harga obat bebas dan obat resep yang dihasilkan produsen, kecuali atas obat-obatan generik yang diatur dalam Daftar Obat Esensial Nasional.

Pengaturan HET yang membatasi margin apotek dapat mengurangi perilaku bersaing mereka, yang tentu saja dapat berdampak kepada kualitas pelayanan yang diberikan. Akan tetapi tindakan tersebut tidak selalu dapat disalahkan, karena berdasarkan dokumen yang diperoleh KPPU, sebenarnya Harga Netto Apotek (HNA) yang menjadi indikator dalam penetapan HET, telah mengandung margin bagi apotek yang nilai beragam untuk setiap obat yang tercantum dalam daftar HNA. Angka tersebut cukup bervariatif, mulai dari 10% hingga mencapai 70% untuk obat-obat tertentu. Dengan kondisi tersebut, maka para ritailer (apotek) dapat menjual obat pada harga sedikit di atas atau di bawah HNA yang ditetapkan.

Apabila merujuk pada pertimbangan dalam kebijakan pemerintah ini, maka tujuan untuk memberikan informasi harga obat yang benar dan transparan bagi masyarakat, dapat diwujudkan. Tetapi hal ini belum efektif untuk menurunkan harga obat di Indonesia. Karena kebijakan ini hanya membatasi margin di tingkat retailer yang notabene memang terbiasa menggunakan margin tersebut.

Untuk menciptakan kompetisi yang lebih sehat dalam industri farmasi serta menurunkan harga obat di tingkat pembeli, maka pemerintah (dalam hal ini Departemen Kesehatan) dapat menyusun suatu harga referensi bagi setiap obat yang beredar di pasar berdasarkan nama generik obat tersebut. Harga ini sebaiknya ditetapkan dengan menggunakan pendekatan Harga Jual Produsen (HJP) agar lebih objektif. Untuk menjamin pengaturan, pelaksanaan, dan pengawasan harga ini, pemerintah dapat menetapkan/mendirikan suatu lembaga independen sektoral yang didirikan berdasarkan undang-undang.

Perumusan harga eceran tertinggi yang diberlakukan atas seluruh jenis obat dan dengan berdasarkan harga netto apotek, sebaiknya dilakukan hanya pada jenis obat tertentu dengan mempertimbangkan struktur biaya produksi serta omzet penjualan pada tingkat produsen, pedagang besar farmasi, dan apotek/toko obat agar tercipta persaingan harga obat yang rasional.

Perbedaan harga yang signifikan antara obat generik (generic) dan obat generik bermerek (branded generic) untuk kelas terapi tertentu tanpa perbedaan khasiat, mengindikasikan penyalahgunaan penguasaan pasar (market power) oleh produsen obat terhadap konsumen. Sehingga untuk mengurangi penyalahgunaan tersebut, pembatasan maksimal atas harga obat generik bermerek dibandingkan harga obat generiknya dapat diberlakukan.

Guna mengawasi harga obat, perluasan kewenangan Pemerintah dalam pengawasan harga seluruh jenis obat perlu dilakukan untuk menjamin terjangkaunya harga obat oleh sebagian besar masyarakat.
Dalam rangka pengembangan industri farmasi selanjutnya, sebaiknya kebijakan diarahkan kepada mendorong peranan asuransi kesehatan dalam pengadaan obat nasional. Lebih lanjut guna mengurangi ketergantungan bahan baku dan bahan penolong impor, kebijakan peningkatan upaya penelitian dan pengembangan dalam industri farmasi nasional perlu mendapat perhatian pemerintah. (berbagai sumber)



Selengkapnya >>

Kemajemukan Peradilan

Kemajemukan sistem peradilan Indonesia tidak berarti tak ada kepastian hukum. Mahkamah Konstitusi menilai sebaliknya dan menuntut unifikasi peradilan khusus korupsi. Kemajemukan sistem peradilan Indonesia tidak berarti tak ada kepastian hukum. Mahkamah Konstitusi menilai sebaliknya dan menuntut unifikasi peradilan khusus korupsi.

MK menyatakan, keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tetap sah sampai UU KPK 2002 diubah paling lambat tiga tahun terhitung sejak putusan MK diucapkan. Putusan MK membatasi masa berlakunya UU, padahal perubahan UU bukan wewenang MK. Putusan MK menimbulkan kebingungan di lingkungan kepresidenan (Kompas, 26/12/2006) hingga tim perubahan UU Pemberantasan Tipikor 1999/2001 (Kompas, 2/2/2007).

Keanekaragaman kebijakan

Berdasar politik konstitusi, sistem dan lembaga peradilan adalah bagian distribusi kekuasaan negara. Pasal 24 (2) UUD 1945 menentukan, Mahkamah Agung (MA) dan MK pelaksana kekuasaan kehakiman dengan lima yurisdiksi. Empat yurisdiksi peradilan eks UU Kekuasaan Kehakiman 1970 ditransformasikan ke dalam konstitusi, yaitu peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara (TUN), dan tetap dilaksanakan MA. Wewenang dan kewajiban MK (Pasal 24C (1) UUD 1945), yang dilembagakan di luar MA, menjadi yurisdiksi peradilan konstitusi.

Pasal 24A (5) UUD 1945 menempatkan rincian pembentukan lembaga peradilan di ranah kebijakan kehakiman, terutama UU KK 1970/2004. Hasilnya, kemajemukan sistem peradilan berdasar pengkhususan yurisdiksi atau kompetensi. Pasal 10 (1) UU KK 1970/2004 menyebut dua pengkhususan: pengkhususan yurisdiksi dan pengkhususan lebih lanjut dalam tiap yurisdiksi.

Pertama, pengkhususan yurisdiksi peradilan berdasar status (agama, militer) dan jenis perkara tertentu (sengketa TUN). Peradilan umum adalah peradilan bagi "rakyat umum" untuk semua jenis perkara (general jurisdiction), sedangkan peradilan agama, militer, dan TUN merupakan peradilan dengan yurisdiksi khusus (special jurisdiction). Peradilan konstitusi merupakan yurisdiksi khusus, lebih-lebih jika merupakan salah satu "kamar" di MA.

Kedua, tiap yurisdiksi mengalami pengkhususan berdasar status, jenis perkara, bahkan faktor kewilayahan. Ukuran dan cara pengkhususan peradilan tetap di ranah kebijakan kehakiman, bukan di pengadilan (bukan politics of the judiciary).

Berbagai peradilan khusus dibentuk dalam peradilan umum: Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Hak-hak Asasi Manusia. Bahkan, pengadilan HAM terdiri atas peradilan HAM ad hoc untuk pelanggaran berat HAM sebelum UU No 26/2000, dan peradilan HAM bukan ad hoc untuk pelanggaran berat HAM yang terjadi sejak 2000.

Pada peradilan TUN ada Pengadilan Pajak, yang merupakan peradilan khusus perpajakan dengan yurisdiksi khusus TUN. Peradilan khusus militer memeriksa sengketa TUN militer. Untuk otonomi daerah, di Aceh Mahkamah Syar’iyah menggabung kekhususan dua yurisdiksi khusus sebagai "pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama" dan sebagai "pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum" (Pasal 15 (2) UU KK 2004).

Jadi, ada berbagai UU yang mengatur dan membentuk peradilan. Pengadilan Niaga dibentuk dengan UU Kepailitan 1998. Pengadilan Perburuhan dibentuk melalui UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 2004, dan diatur bersama dengan mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi di bidang perburuhan. Pengadilan Perikanan diatur melalui UU Perikanan 2004.

Pengadilan Tipikor

Pengadilan Tipikor bertugas memutus perkara yang diajukan KPK. Dalam pemberantasan korupsi, koordinasi dan supervisi KPK atas kepolisian dan kejaksaan merupakan kebijakan pidana dalam manajemen penyidikan dan penuntutan perkara (Bab II dan VI UU KPK 2002), bukan dalam manajemen pemeriksaan di pengadilan (Bab VII UU KPK 2002).

Hukum pidana khusus, di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai hukum material oleh pengadilan khusus korupsi maupun peradilan pidana umum. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana digunakan sebagai hukum acara pengadilan ditambah aturan khusus menurut UU Pemberantasan Tipikor 2001, misalnya tenggat pemeriksaan perkara oleh hakim.

Pengadilan Tipikor ditempatkan dalam peradilan umum dan untuk pertama kali dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 53-54 UU KPK 2002), bersama peradilan pidana umum yang juga menangani tipikor. Sesuai Pasal 24A (5) UUD 1945, seharusnya MK membatalkan frase "dengan Keputusan Presiden" pada Pasal 54 (3) UU KPK 2002. Namun, Putusan MK No 012-016-019/PUU-IV/2006 menilai Pasal 53 inkonstitusional karena melahirkan ketidakpastian hukum yang dijamin Pasal 28D (1) UUD 1945. MK menyamakan ketakseragaman dengan ketakpastian hukum, tetapi putusannya menyatakan, Pasal 53 UU KPK 2002 "tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun terhitung sejak putusan ini diucapkan".

Putusan MK telah memasuki ranah kebijakan kehakiman. Sesuai distribusi kekuasaan negara, peradilan biasanya menahan diri (menerapkan prinsip judicial self-restraint). Rencana perubahan UU Pemberantasan Tipikor akan membuktikan apakah pembentuk UU mempertegas kebijakan atau peradilan yang menentukannya. ***


Selengkapnya >>

Lex Specialis Tak Dihargai

Rasanya bosan mendengarkan keluhan orang tentang ketidakpastian hukum di Indonesia, yang selalu dikaitkan dengan hengkangnya investor ke luar negeri. Itu cerita kuno, yang sudah bertahun-tahun menjadi bahan diskusi, seminar maupun talk show. Tapi penanganan hukum di Indonesia memang amburadul.

Pada era Presiden Soeharto, kelangkaan kepastian hukum disebabkan posisi penguasa yang sangat kuat, sehingga bisa mengalahkan sistem peradilan. Apa yang dimaui pengusaha, itulah hukum. Begitu berkuasanya Soeharto saat itu, sehingga tata krama menjadi lebih tinggi nilainya dibandingkan tata tertib.

Era reformasi bergulir. Indonesia tidak lagi memiliki orang kuat. Namun masalah ketidakpastian hukum tetap saja tinggi. Bahkan terkesan tidak ada hukum lagi. Orang seakan-akan boleh berbuat apa saja. Tidak heran jika kemudian muncul sindiran di negeri ini apa saja boleh dilakukan atas nama kebebasan, reformasi dan hak azasi.

Kini (apakah masih bisa disebut era reformasi?), justru terjadi sebaliknya. Penerapan hukum terkesan over dosis atau tidak terukur.

Penerapan hukum yang melebihi takaran dan tidak empan papan ini justru membuat penegakan hukum terkesan asal tembak. Ada kecenderungan yang semakin kuat bahwa para penegak hukum pidana umum (lex generalist) masuk ke kasus-kasus khusus, yang seharusnya ditangani atau tunduk pada undang-undang lex specialist.

Contoh yang paling kentara terjadi di perbankan. Pendekatan terhadap kasus kredit macet tidak lagi ditangani berdasarkan undang-undang perbankan, tapi menggunakan undang-undang anti monopoli. Salah satunya menimpa bekas bos Bank Mandiri ECW Neloe. Lepas dari salah atau benar, kasus kredit macet di Bank Mandiri seharusnya ditangani dengan UU Perbankan, bukan UU Antikorupsi.

Penerapan hukum yang tidak sesuai selalu membawa dampak negatif. Dalam kasus perbankan, misalnya, pemidanaan terhadap Neloe dengan menggunakan KUHP atau UU Antikorupsi membuat bankir BUMN takut menyalurkan kredit. Sebab sebaik apapun analisis kredit yang dilakukan, sebagus apapun prospek usaha nasabah, tetap saja risiko selalu ada.

Pengelola perbankan BUMN meminta perlindungan kepada Menneg BUMN dan Menteri Keuangan agar penanganan kredit bermasalah tidak ditangani dengan menggunakan delik pidana umum dan mengesampingkan UU Perbankan. Selama permintaan mereka belum dijawab, bank BUMN cenderung memilih Surat Utang Negara, SBI dan lain sebagainya sebagai tempat menyalurkan dana pihak ketiga.

Setelah perbankan, yang kini marak adalah penerapan hukum pidana umum (KUHP/UU Antikorupsi) untuk sektor fiskal. Kasus-kasus penyelundupan yang selama ini dijerat dengan UU Kepabeanan dan dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dari Ditjen Bea dan Cukai, kini mulai diambil alih oleh kepolisian dengan bekal KUHP dan UU Antikorupsi.

Memang, ketentuan pidana dalam UU Kepabeanan sangat lemah, sehingga para penyelundup sulit dijerat dengan UU ini. Sebagian besar dari mereka akhirnya hanya dikenakan sanksi administrasi. Ini barangkali yang membuat polisi geram dan memaksa masuk ke wilayah yang sebenarnya merupakan domainnya BC.

Bahwa hukuman dalam UU Kepabeanan cenderung bersifat administrasi dan sanksi denda, tidak perlu dibantah. Faktanya memang begitu. UU tersebut didesain terutama untuk mengamankan hak-hak negara serta memberikan pelayanan bagi masyarakat, bukan untuk menjerat atau memasukkan pengusaha sebanyak-banyaknya ke dalam bui.

Salah satu ciri yang membedakan antara hukum pidana fiskal dan hukum pidana umum adalah dalam hukum pidana fiskal juga diatur mengenai mekanisme penyelamatan keuangan negara melalui cara-cara persuasif, seperti penerbitan surat ketetapan pajak (bea masuk) kurang bayar hingga cara-cara yang lebih tegas seperti Surat Paksa hingga lelang aset. Sepanjang kedua cara tersebut sudah bisa mengembalikan hak negara, delik pidananya tidak perlu lagi.

Apakah salah menggunakan KUHP maupun UU Antikorupsi untuk menangani masalah penyelundupan? Rasanya tidak salah. Sebagai produk hukum yang bersifat umum, jelas delik-delik pidana yang ada dalam UU Pajak maupun UU Kepabeanan juga termasuk dalam domain hukum KUHP maupun UU Antikorupsi.

Namun, penerapan KUHP untuk kasus atau modus yang sebenarnya merupakan domain hukum lex specialist, apakah tidak akan merusak tatanan hukum secara keseluruhan?

Yang perlu dipertanyakan masuknya para penagak hukum bidang pidana umum ke bidang pidana khusus itu, semata-mata dilatarbelakangi ketidakpuasan mereka terhadap kinerja PPNS atau putusan hukuman yang diberikan kepada pelanggar atau ada motif lain di balik itu?

Pembagian tugas

Jika alasannya ketidakpuasan terhadap PPNS dan sanksi yang dijatuhkan, ini relatif mudah mencari solusinya. UU Kepabeanan dan UU Pajak yang mengatur tentang itu sedang digodok ulang di DPR untuk memberikan jaminan yang lebih tegas. Tapi jika ada motif lain yang menjadi latar belakang. Bukan rahasia lagi, kasus-kasus perbankan, pajak, penyelundupan jauh lebih menarik dibandingkan kasus pencurian ayam, kasus pencopet di Pasar Tanah Abang atau pembunuhan berantai sekali pun.

Namun, kalangan penegak hukum pidana umum jangan hanya melihat daya tariknya. Tapi perlu pula dilihat dampak ikutannya yang bisa berdampak luas. Selain itu, dalam kasus-kasus tersebut selalu berlaku hukum ekonomi high risk, high income.Income di sini jangan selalu dikaitkan dengan uang semata, tapi juga bisa berupa prestasi kerja, popularitas, promosi dan sebagainya.

Apa kurang hebatnya Suyitno Landung (mantan Kepala Bareskrim Polri), toh dia harus tersandung kasus L/C fiktif BNI, apa kurang hebatnya jaksa yang menangani kasus Ahmad Junaidi (mantan dirut Jamsostek) sehingga harus dipermalukan dan dilempar dengan papan nama?
Para penegak hukum perlu duduk bersama, merumuskan kembali batas-batas mana yang termasuk domain hukum lex specialist (pajak, pabean, perbankan dll) dan mana yang domainnya hukum lex generalist.

Sebab tanpa pembatasan yang jelas akan terjadi tumpang tindih penanganan perkara yang berujung pada semakin kacaunya hukum di Indonesia. Jika penegak hukum pidana umum ramai-ramai masuk ke wilayah pidana khusus, lalu siapa nanti yang akan menangani masalah-masalah hukum pidana umum? Apa jadinya jika PPNS menangani kasus maling, pencopetan, pembunuhan dan sebagainya. Ketidakpastian hukum akan bertambah-tambah. (parwito@bisnis.co.id)

Oleh Parwito Wartawan Bisnis Indonesia
Sumber: Bisnis Indonesia, 10 Juli 2006




Selengkapnya >>
Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity