16 Februari 2010

Aturan Bagi Penegak Hukum

Aturan Tingkah Laku Bagi Petugas Penegak Hukum

Judul Asli
Code Of Conduct For Law Enforcement Officials
Adopted By General Assembly Resolution 34/169 Of 17 December 1979

Pasal 1
Para petugas penegak hukum sepanjang waktu harus memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh hukum, dengan melayani masyarakat dan dengan melindungi semua orang dari perbuatan-perbuatan yang tidak sah, konsisten dengan tingkat pertanggungjawaban yang tinggi yang dipersyaratkan oleh profesi mereka.

Penjelasan:
(a) Istilah "petugas penegak hukum" mencakup semua pegawai hukum, apakah yang ditunjuk atau dipilih, yang melaksanakan kekuasaan-kekuasaan polisi, terutama kekuasaan menangkap atau menahan.
(b) Di Negara-negara di mana kekuasaan polisi dilaksanakan oleh para penguasa militer, apakah berseragam ataukah tidak, atau oleh angkatan keamanan Negara, maka batasan petugas penegak hukum akan dianggap mencakup pegawai yang melaksanakan pelayanan-pelayanan semacam itu.
(c) Pelayanan kepada masyarakat dimaksudkan untuk mencakup terutama pemberian pelayanan bantuan kepada anggota masyarakat yang karena alasan pribadi, ekonomi, sosial atau keadaan-keadaan darurat lain membutuhkan bantuan segera.
(d) Ketentuan ini dimaksudkan untuk meliputi tidak hanya semua perbuatan bengis, ganas dan membahayakan, tetapi meluas pada berbagai macam larangan menurut statuta-statuta pidana. Ketentuan ini meluas pada aturan-aturan tingkah laku orang-orang yang tidak mampu melaksanakan pertanggungjawaban pidana.

Pasal 2
Dalam melaksanakan kewajiban mereka, para petugas penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat manusia, dan menjaga dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia semua orang.

Penjelasan
(a) Hak-hak asasi manusia yang sedang dibicarakan diidentifikasikan dan dilindungi oleh hukum nasional dan hukum internasional. Di antara instrumen-instrumen internasional yang relevan adalah Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Polltik, Deklarasi mengenai Perlindungan Semua Orang dari Dijadikan Sasaran Penganiayaan dan Perlakuan Kejam yang lain, Tidak manusiawi atau Hukuman yang Menghinakan, Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi Internasional tentang Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid, Konvensi mengenai Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida, Aturan-aturan Standar Minimum untuk Perlakuan terhadap Narapidana, dan Konvensi Wina tentang Hubungan-hubungan Konsuler,
(b) Penjelasan-penjelasan Nasional pada ketentuan ini harus menunjuk ketentuan-ketentuan regional atau nasional yang mengidcntifikasi dan melindungi hak-hak ini.

Pasal 3
Para petugas penegak hukum dapat menggunakan kekerasan hanya ketika benar-benar diperlukan dan sampai sejauh yang dipersyaratkan untuk pelaksanaan kewajiban mereka.

Penjelasan:
(a) Ketentuan ini menekankan bahwa penggunaan kekerasan oleh para petugas penegak hukum harus merupakan pengecualian; walaupun secara tidak langsung menyatakan bahwa para petugas penegak hukum dapat dikuasakan untuk menggunakan kekerasan seperti yang sepantasnya diperlukan menurut keadaan-keadaan untuk pencegahan kejahatan, atau dalam memberlakukan atau membantu dalam penangkapan yang sah terhadap para pelanggar atau yang diduga sebagai pelanggar, tidak satu pun kekerasan boleh digunakan sampai diluar dari yang boleh digunakan.
(b) Hukum nasional biasanya membatasi penggunaan kekerasan oleh para petugas penegak hukum sesuai dengan suatu asas sebanding. Harus dimengerti bahwa asas-asas sebanding nasional tersebut harus dihormati dalam penafsiran ketentuan ini. Pada kasus apa pun ketentuan ini tidak dapat ditafsirkan menguasakan penggunaan kekerasan yang tidak sebanding dengan tujuan yang sah yang harus dicapai.
(c) Penggunaan senjata api dianggap sebagai tindakan yang ekstrem. Setiap usaha harus dilakukan untuk mengesampingkan penggunaan senjata api, terutama terhadap anak-anak. Secara umum, senjata api tidak boleh dipergunakan kecuali ketika seorang yang diduga sebagai pelanggar memberikan perlawanan senjata atau sebaliknya membahayakan kehidupan orang-orang lain dan tindakan-tindakan yang kurang ekstrem tidak cukup untuk menahan atau menawan orang yang diduga sebagai pelanggar. Dalam setiap kejadian yang di dalamnya sepucuk senjata api dilepaskan, maka suatu laporan harus segera disampaikan kepada para penguasa yang berwenang.

Pasal 4
Masalah-masalah yang mempunyai sifat rahasia dalam pemilikan para petugas penegak hukum harus dijaga tetap rahasia, kecuali jika pelaksanaan kewajiban atau kebutuhan-kebutuhan peradilan sepenuhnya memerlukan sebaliknya.

Penjelasan:
Dengan sifat kewajiban-kewajiban mereka, maka para petugas penegak hukum memperoleh informasi yang mungkin berkenaan dengan kehidupan-kehidupan pribadi atau yang secara potensial merugikan kepentingan-kcpentingan, dan terutama nama baik, orang lain. Pengawasan yang ketat harus dilaksanakan dalam menjaga dan menggunakan informasi tersebut, yang harus diungkapkan hanya dalam melaksanakan kewajiban atau melayani kebutuhan-kebutuhan peradilan. Pengungkapan apapun mengenai informasi tersebut untuk tujuan-tujuan yang lain secara keseluruhan adalah tidak tepat.

Pasal 5
Tidak seorang pun petugas penegak hukum dapat membebankan, menghasut atau membiarkan perbuatan penganiayaan apapun atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan, dan juga tidak dapat menggunakan sebagai sandaran perintah-perintah atasan atau keadaan-keadaan pengecualian seperti keadaan perang, ancaman perang, ancaman terhadap keamanan nasional, ketidakstabilan politik internal atau keadaan darurat umum yang lain apa pun sebagai pembenaran terhadap penganiayaan atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan.

Penjelasan:
(a) Larangan ini berasal dari Deklarasi mengenai Perlindungan Semua Orang dijadikan Sasaran Penganiayaan dan Perlakuan Kejam yang Lain, Tidak Manusiawi atau Hukuman yang Menghinakan, yang disetujui oleh Majelis Umum, yang menurutnya: "[Suatu perbuatan semacam itu adalah] suatu pelanggaran terhadap martabat manusia dan harus dikutuk sebagai pengingkaran terhadap tujuan-tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, dan kebebasan-kebebasan dasar yang dinyatakan dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia [dan instrumen-instrumen hak-hak asasi manusia internasional yang lain]."
(b) Deklarasi memberi batasan penganiayaan sebagai berikut: "...penganiayaan berarti setiap perbuatan di mana sakit yang berat atau penderitaan, apakah fisik atau mental, dengan sengaja dibebankan oleh atau atas hasutan seorang pejabat pemerintah pada seseorang untuk tujuan-tujuan seperti memperoleh darinya atau dari orang ketiga informasi atau pengakuan, menghukum dia karena suatu perbuatan yang telah dia lakukan, atau yang disangka telah melakukan, atau mengintimidasi dia atau orang-orang lain. Penganiayaan tersebut tidak mencakup sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, sanksi-sanksi sah yang melekat atau secara kebetulan sampai sejauh bersesuaian dengan Aturan-aturan Standar Minimum bagi Perlakuan terhadap Narapidana."
(c) Istilah "perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan" belum diberi batasan oleh Majelis Umum tetapi harus ditafsirkan agar supaya memberikan perlindungan yang seluas mungkin terhadap penyalahgunaan, apakah fisik atau mental.

Pasal 6
Para petugas penegak hukum harus menjamin perlindungan penuh untuk kesehatan orang-orang dalam tahanan mereka, dan terutama, harus mengambil tindakan segera untuk menjamin perawatan kesehatan setiap waktu diperlukan.


Penjelasan :
(a) Perawatan kesehatan, yang menunjuk pada pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh personel kesehatan manapun, termasuk para pelaksana kesehatan berijazah dan paramedis, harus dijamin apabila dibutuhkan atau diperlukan.
(b) Sementara personel kesehatan dimungkinkan untuk disertakan pada operasi penegak hukum, maka para petugas penegak hukum harus memperhatikan keputusan personel tersebut apabila mereka merekomendasikan pemberian kepada orang dalam tahanan itu perlakuan yang tepat melalui, atau dalam konsultasi dengan personel kesehatan dari luar operasi penegak hukum.
(c) Dimengerti bahwa para petugas penegak hukum harus juga menjamin perawatan kesehatan bagi para korban pelanggaran hukum atau kejadian-kejadian yang terjadi dalam pelanggaran-pelanggaran hukum.


Pasal 7
Para petugas penegak hukum tidak dapat melakukan tindak korupsi apa pun. Mereka juga harus dengan keras melawan dan memerangi semua perbuatan semacam itu.

Penjelasan :
(a) Tindak korupsi apa pun, dalam cara yang sama seperti penyalahgunaan kekuasaan yang lain apa pun, adalah bertentangan dengan profesi para petugas penegak hukum. Hukum harus dilaksanakan sepenuhnya berkenaan dengan para petugas penegak hukum mana pun yang melakukan tindak korupsi, karena para pemerintah tidak dapat mengharapkan untuk memberlakukan hukum di antara warga negara mereka kalau mereka tidak dapat atau tidak mau memberlakukan hukum terhadap para pelaksana mereka sendiri dan di dalam perwakilan mereka.
(b) Sementara definisi mengenai korupsi harus tunduk pada hukum nasional, akan diartikan mencakup melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dalam melaksanakan atau dalam kaitannya dengan kewajiban-kewajiban seseorang, dalam menanggapi pemberian-pemberian, janji-janji atau insentif-insentif yang diminta atau yang diterima, atau penerimaan yang tidak sah akan barang-barang ini, sekali perbuatan itu sudah dilakuk an atau tidak dilakukan.
(c) Ungkapan "tindak korupsi" yang ditunjuk di atas akan diartikan mencakup percobaan korupsi.

Pasal 8
Para petugas penegak hukum harus menghormati hukum dan Undang-undang yang sekarang ini. Mereka diharuskan juga, sampai pada kemampuan mereka yang terbaik, mencegah dan dengan keras menentang setiap pelanggaran terhadap mereka.
Para petugas penegak hukum yang mempunyai alasan untuk meyakini bahwa suatu pelanggaran terhadap Undang-undang yang sekarang ini telah terjadi, atau kira-kira terjadi harus melaporkan masalah itu kepada para penguasa atasan mereka dan, bila perlu, kepada para penguasa atau organ lain yang tepat, yang diberi kekuasaan untuk meninjau kembali atau kekuasaan penggantian kerugian.


http://advokat-rgsmitra.com/
terjemahan tidak resmi

Selengkapnya >>

Hukum Perdata Indonesia

Pada dasarnya kehidupan antara seseorang itu didasarkan pada adanya suatu “hubungan”, baik hubungan atas suatu kebendaan atau hubungan yang lain. Adakalanya hubungan antara seseorang atau badan hukum itu tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, sehingga seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Sebagai contoh sebagai akibat terjadinya hubungan pinjam meminjam saja seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Atau contoh lain dalam hal terjadinya putusnya perkawinan seringkali menimbulkan permasalahan hukum.

Ketentuan mengenai hukum perdata ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau lebih dikenal dengan BW (Burgelijke Wetboek).
Hukum perdata merupakan hukum yang meliputi semua hukum “Privat materil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Hukum perdata terdiri atas :

a. Hukum Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal-hal yang diatur dalam hukum perkawinan adalah :
1. Syarat untuk perkawinan
2. Pembatalan perkawinan
3. Hak dan kewajiban suami istri
4. Percampuran kekayaan
5. Perjanjian perkawinan
6. Perceraian
7. Pemisahan kekayaan

b. Hukum Kekeluargaan
Hukum kekeluargaan mengatur tentang :
a. Keturunan
b. Kekuasaan orang tua (Outderlijke mactht)
c. Perwalian
d. Pendewasaan
e. Curatele
f. Orang hilang

c. Hukum Benda
1. Tentang benda pada umumnya
Pengertian yang paling luas dari perkataan “Benda” (Zaak) ialah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang.

2. Tentang hak-hak kebendaan :
a) Bezit,
ialah suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai suatu benda seolah-olahkepunyaan sendiri, yang ole hukum diperlindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa.
b) Eigendom,
ialah hak yang paling sempurna atas suatu benda seorang yang mempunyai hak eigendom (milik) atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan, memberikan,, bahkan merusak)
c) Hak-hak kebendaan di atas benda orang lain,
Ialah suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan lain yang berbatasan.
d) Pand dan Hypotheek,
Ialah hak kebendaan ini memberikan kekuasaan atas suatu benda tidak untuk dipakai, tetapi dijadikan jaminan bagi hutang seseorang.
e) Piutang-piutang yang diberikan keistimewaan (privilage)
Ialah suatu keadaan istimewa dari seorang penagih yang diberikan oleh undang-undang melulu berdasarka sifat piutang.
f) Hak reklame,
Ialah hak penjual untuk meminta kembali barang yang telah dijualnya apabila pembeli tidak melunasi pembayarannya dalam jangka waktu 30 hari.

d. Hukum Waris
1. hak mewarisi menurut undang-undang
2. menerima atau menolak warisan
3. perihal wasiat (Testament)
4. Fidei-commis
Ialah suatu pemberian warisan kepada seorang waris dengan ketentuan, ia wajib menyimpan warisan itu dan setelah lewat suatu waktu atau apabila si waris itu sendiri telah meninggal warisan itu harus diserahkan kepada seorang lain yang sudah ditetapkan dalam testament.
5. legitieme portie
ialah suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.
6. perihal pembagian warisan
7. executeur-testamentair dan Bewindvoerder
ialah orang yang akan melaksanakan wasiat.
8. harta peninggalan yang tidak terurus
e. Hukum Perikatan
Ialah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Hukum perikatan terdiri atas :
1. Perihal perikatan dan sumber-sumbernya
2. Macam-macam perikatan
3. Perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang
4. Perikatan yang lahir dari perjanjian
5. Perihal resiko, wanprestasi dan keadaan memaksa
6. Perihal hapusnya perikatan-perikatan
7. Beberapa perjanjian khusus yang penting

Selengkapnya >>

"Money Laundering" dan Dana Teroris

MONEY laundering atau pencucian uang menjadi salah satu persoalan yang dibahas dalam Konferensi Ke-23 Aseanapol di Manila, Filipina, September 2003.
PERSOALAN ini semakin mengemuka karena pencucian uang dikaitkan dengan dana yang digunakan jaringan teroris. Sebelum isu terorisme menguak, biasanya masalah pencucian uang selalu dikaitkan dengan perdagangan gelap narkotika, bisnis prostitusi, perjudian, dan perdagangan senjata ilegal. Namun, seiring dengan merebaknya isu terorisme, maka masalah pencucian uang dikaitkan dengan jaringan teroris di Asia Tenggara dan dunia.
Dalam sidang komisi di Konferensi Ke-23 Aseanapol di Manila, terungkap bahwa saat ini otoritas internasional menyoroti Indonesia, Malaysia, dan Filipina karena sejumlah tersangka sudah mulai mengumpulkan dana kemanusiaan dan memiliki hubungan dengan organisasi teroris.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Erwin Mappaseng mengatakan, Polri sudah menyiapkan penyidik yang menguasai persoalan pencucian uang untuk menangani berbagai kasus ini. Kedekatan Polri dengan petugas Bank Indonesia digambarkan Erwin sebagai, "Kami tinggal angkat telepon untuk berkoordinasi jika ada transaksi keuangan yang mencurigakan."
Setelah tragedi WTC pada 11 September 2001, Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), gugus tugas yang dibentuk negara-negara G7 pada tahun 1989 untuk memberantas pencucian uang, memperluas misi dengan ikut serta mencegah mengalirnya dana ke rekening para teroris.
FATF dalam laporan tahun 2001-2002 menyebutkan, organisasi teroris terkait dengan sumber pendanaan yang legal dan ilegal. Organisasi teroris sangat bergantung pada hasil sumber kejahatan yang menghasilkan uang, misalnya perdagangan gelap narkotika, penyelundupan barang dalam jumlah besar, dan kejahatan keuangan antara lain pemalsuan kartu kredit.
Kajian FATF menyebutkan, modalitas pencucian uang yang dilakukan organisasi teroris tidak membedakan dari kejahatan asalnya. Karena itu, aksi terorisme yang dibiayai dengan kejahatan yang menghasilkan uang dan perang melawan pendanaan terorisme dapat diupayakan melalui perangkat pengaturan pencucian uang.
FATF juga menyebutkan, pendanaan terorisme umumnya bergantung pada sumber pendanaan yang sah, yang dikumpulkan melalui organisasi yang sah atau organisasi nirlaba. Dana-dana ini antara lain berasal dari iuran keanggotaan, sumbangan, dan acara kebudayaan dan sosial, yang kemudian disalurkan ke organisasi teroris.
FATF menegaskan pula, pengumpulan dana untuk kepentingan sosial acapkali menjadi "kendaraan" bagi pengumpulan dana pendukung aksi terorisme karena sumber uang yang legal ternyata sangat menyulitkan pendeteksian. Selain itu, perusahaan-perusahaan yang memiliki jaringan bisnis lintas batas negara juga sering dimanfaatkan untuk pengumpulan dana terorisme melalui jaringan bisnis yang legal.
Karena itu pula, lembaga keuangan mengalami kesulitan mendeteksi dengan menggunakan instrumen laporan transaksi keuangan mencurigakan atau suspicious transaction report (STR).
Di sejumlah negara, kurangnya pengaturan mengenai pencegahan pendanaan terorisme menimbulkan dampak, organisasi teroris dapat dengan aman mengumpulkan dana.
Kriminalisasi atas perbuatan pendanaan terorisme ini sangat mendesak dijadikan sebagai predicate crime dari tindak pidana pencucian uang. Sangat beralasan jika pendanaan terorisme diklasifikasikan sebagai tindak pidana.
Seorang analis PPTAK menyebutkan, Indonesia sudah merespons secara positif gagasan yang berkembang dalam masyarakat internasional bahwa terorisme dan pendanaan terorisme merupakan tindak pidana. Lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Terorisme menjadi UU, menjadi landasan hukum utama dalam menangani berbagai aksi terorisme di Indonesia.
Pengaturan terorisme sebelumnya sudah diakomodasi dalam UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa terorisme sebagai salah satu kejahatan asal dari money laundering sehingga uang yang berasal dari aktivitas organisasi teroris dapat dikejar dan dituntut dengan UU No 15 Tahun 2002.
PERSOALANNYA, pemberantasan pendanaan terorisme bukan hal yang gampang. Analis PPTAK itu menyebutkan, belum adanya administrasi kependudukan yang tertib, seperti belum adanya kartu identitas tunggal (uniform single ID) bagi setiap orang, seperti halnya dikenal di beberapa negara, antara lain Amerika Serikat dengan Social Security Number.
Pembuatan identitas palsu yang mudah dilakukan pun ikut mempersulit upaya deteksi dan penyelidikan kegiatan pendanaan terorisme.
Penerapan prinsip mengenal nasabah (Know Your Customer) juga belum sepenuhnya dilakukan, baik karena alasan persaingan antarindividu industri, kurangnya penegakan hukum, maupun kurangnya kesadaran nasabah.
Masih dibutuhkan waktu untuk sosialisasi UU Terorisme dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang yang relatif masih baru ini. Di samping itu, dibutuhkan juga perjanjian internasional yang mengatur pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme. ***

Selengkapnya >>
Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity