16 September 2009

Hukuman Mati adalah Pelanggaran HAM

Siaran Pers Bersama

Hukuman Mati adalah Pelanggaran Prinsip Kemanusiaan dan Konstitusi RI !
Kita patut merasa khawatir dengan makin banyaknya penerapan hukuman mati. Pada periode Januari-Maret 2006 ada 13 orang dalam proses hukum yang dituntut dengan hukuman mati dan 5 di antaranya divonis hukuman mati ( Lihat Lampiran Kasus-kasus Hukuman Mati Sepanjang 2006 ). Deret ini ditambah lagi dengan jumlah 34 terpidana mati yang proses hukumnya sudah final dan segera menunggu eksekusi mati ( Lihat Lampiran Perkembangan Praktek Hukuman Mati di Tahun 2005 dan Terpidana Mati yang Segera Dieksekusi ). Mereka umumnya terpidana mati untuk kasus narkoba, pembunuhan, dan terorisme. Dalam waktu terdekat ini terpidana mati yang segera dieksekusi adalah Fabianus Tibo, Marinus Rowu, dan Dominggus da Silva. Ketiganya dinyatakan terbukti sebagai dalang utama konflik komunal di Poso.

Atas dasar bahasa nurani kemanusian, kami di sini menentang keras pelaksanaan hukuman mati! Ada 2 alasan dasar mengapa kami menolak hukuman mati. Pertama , atas dasar prinsip kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia/HAM. Kedua , atas dasar realitas politik hukum di Indonesia yang masih tidak netral dan korup.
Atas dasar prinsip kemanusiaan yang tercantum dalam berbagai hukum/perjanjian HAM internasional -di mana Indonesia juga menjadi negara pesertanya- hukuman mati harus ditolak dalam hal:

1. Hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup ( right to life ). Hak fundamental ( non-derogable rights ) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana. Indonesia sendiri ikut menandatangani Kovenan Internasional Hak-hak Sipil Politik, yang secara jelas menyatakan hak atas hidup merupakan hak setiap manusia dalam keadaan apapun dan adalah kewajiban negara untuk menjaminnya.

2. Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, penerapan hukuman mati jelas melanggar Konstitusi RI UUD 1945 sebagai produk hukum positif tertinggi di negeri ini. Pasal 28A UUD '45 (Amandemen Kedua) menyatakan:
”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Pasal 28I ayat (1) UUD '45 (Amandemen Kedua) menyatakan:
”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Hak hidup ini kembali dinyatakan dalam Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia:
”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Atas dasar pertimbangan politik hukum di Indonesia , hukuman mati harus ditolak karena:

1. Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan aparatusnya yang bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang salah. Kasus hukuman mati Sengkon dan Karta yang lampau di Indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita. Hukum sebagai sebuah institusi buatan manusia tentu tidak bisa selalu benar dan selalu bisa salah.

2. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingakan dengan jenis hukuman lainnya. Kajian PBB tentang hubungan hukuman mati ( capital punishment ) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainnya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku.

3. Praktek hukuman mati di Indonesia selama ini masih bias kelas dan diskriminasi, di mana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius/luar biasa. Para pelaku korupsi, pelaku pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban yang jauh lebih tinggi dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis bahkan dituntut hukuman mati.

4. Penerapan hukuman mati juga menunjukkan wajah politik hukum Indonesia yang kontradiktif. Salah satu argumen pendukung hukuman mati adalah karena sesuai dengan hukum positif Indonesia . Padahal semenjak era reformasi/transisi politik berjalan telah terjadi berbagai perubahan hukum dan kebijakan negara. Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi hukum juga menegaskan pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat (1) UUD '45 (Amandemen Kedua) menyatakan:
”hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

5. Sikap politik pemerintah terhadap hukuman mati juga bersifat ambigu. Pemerintah RI sering mengajukan permohonan secara gigih kepada pemerintah Arab Saudi untuk tidak menjalankan hukuman mati kepada para WNI-nya di luar negeri, seperti pada kasus Kartini, seorang TKW, dengan alasan kemanusiaan. Namun hal ini tidak terjadi pada kasus hukuman mati terhadap WNI dan WNA di dalam negeri RI.
Rekomendasi:

1. Untuk menghentikan berlangsungya eksekusi bagi terpidana hukuman mati dalam waktu dekat, perlu adanya upaya intervensi politik dari Presiden seperti dengan melakukan moratorium hukuman mati.

2. Secara strategis jangka panjang, perlu dilakukan pencabutan hukuman mati di berbagai produk hukum Indonesia , mulai dari KUHP hingga UU yang relevan. Upaya ini bisa dilakukan melakukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi.

3. Presiden harus segera menandatangani/mengaksesi Kovenan Internasional Sipil Politik, berikut kedua Protokol Tambahannya (Optional Protocol I & II).

4. Menyerukan kepada masyarakat luas untuk membuat petisi menolak pemberlakuan hukuman mati ke Presiden/DPR.

Jakarta , 6 April 2006

Koalisi Anti Hukuman Mati

Elsam, LBH Jakarta, PMKRI, PBHI, Ciliwung Merdeka, Setara Institute, HRWG, LMND, PRD, CC GKST, Padma Indonesia, IMMADEI, Kamtri, GMNI UKI, Novico, IKOHI, KontraS, KOMPAK, dan Individu-individu lainnya




0 komentar:

Posting Komentar

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity