01 September 2009

Lex Specialis Tak Dihargai

Rasanya bosan mendengarkan keluhan orang tentang ketidakpastian hukum di Indonesia, yang selalu dikaitkan dengan hengkangnya investor ke luar negeri. Itu cerita kuno, yang sudah bertahun-tahun menjadi bahan diskusi, seminar maupun talk show. Tapi penanganan hukum di Indonesia memang amburadul.

Pada era Presiden Soeharto, kelangkaan kepastian hukum disebabkan posisi penguasa yang sangat kuat, sehingga bisa mengalahkan sistem peradilan. Apa yang dimaui pengusaha, itulah hukum. Begitu berkuasanya Soeharto saat itu, sehingga tata krama menjadi lebih tinggi nilainya dibandingkan tata tertib.

Era reformasi bergulir. Indonesia tidak lagi memiliki orang kuat. Namun masalah ketidakpastian hukum tetap saja tinggi. Bahkan terkesan tidak ada hukum lagi. Orang seakan-akan boleh berbuat apa saja. Tidak heran jika kemudian muncul sindiran di negeri ini apa saja boleh dilakukan atas nama kebebasan, reformasi dan hak azasi.

Kini (apakah masih bisa disebut era reformasi?), justru terjadi sebaliknya. Penerapan hukum terkesan over dosis atau tidak terukur.

Penerapan hukum yang melebihi takaran dan tidak empan papan ini justru membuat penegakan hukum terkesan asal tembak. Ada kecenderungan yang semakin kuat bahwa para penegak hukum pidana umum (lex generalist) masuk ke kasus-kasus khusus, yang seharusnya ditangani atau tunduk pada undang-undang lex specialist.

Contoh yang paling kentara terjadi di perbankan. Pendekatan terhadap kasus kredit macet tidak lagi ditangani berdasarkan undang-undang perbankan, tapi menggunakan undang-undang anti monopoli. Salah satunya menimpa bekas bos Bank Mandiri ECW Neloe. Lepas dari salah atau benar, kasus kredit macet di Bank Mandiri seharusnya ditangani dengan UU Perbankan, bukan UU Antikorupsi.

Penerapan hukum yang tidak sesuai selalu membawa dampak negatif. Dalam kasus perbankan, misalnya, pemidanaan terhadap Neloe dengan menggunakan KUHP atau UU Antikorupsi membuat bankir BUMN takut menyalurkan kredit. Sebab sebaik apapun analisis kredit yang dilakukan, sebagus apapun prospek usaha nasabah, tetap saja risiko selalu ada.

Pengelola perbankan BUMN meminta perlindungan kepada Menneg BUMN dan Menteri Keuangan agar penanganan kredit bermasalah tidak ditangani dengan menggunakan delik pidana umum dan mengesampingkan UU Perbankan. Selama permintaan mereka belum dijawab, bank BUMN cenderung memilih Surat Utang Negara, SBI dan lain sebagainya sebagai tempat menyalurkan dana pihak ketiga.

Setelah perbankan, yang kini marak adalah penerapan hukum pidana umum (KUHP/UU Antikorupsi) untuk sektor fiskal. Kasus-kasus penyelundupan yang selama ini dijerat dengan UU Kepabeanan dan dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dari Ditjen Bea dan Cukai, kini mulai diambil alih oleh kepolisian dengan bekal KUHP dan UU Antikorupsi.

Memang, ketentuan pidana dalam UU Kepabeanan sangat lemah, sehingga para penyelundup sulit dijerat dengan UU ini. Sebagian besar dari mereka akhirnya hanya dikenakan sanksi administrasi. Ini barangkali yang membuat polisi geram dan memaksa masuk ke wilayah yang sebenarnya merupakan domainnya BC.

Bahwa hukuman dalam UU Kepabeanan cenderung bersifat administrasi dan sanksi denda, tidak perlu dibantah. Faktanya memang begitu. UU tersebut didesain terutama untuk mengamankan hak-hak negara serta memberikan pelayanan bagi masyarakat, bukan untuk menjerat atau memasukkan pengusaha sebanyak-banyaknya ke dalam bui.

Salah satu ciri yang membedakan antara hukum pidana fiskal dan hukum pidana umum adalah dalam hukum pidana fiskal juga diatur mengenai mekanisme penyelamatan keuangan negara melalui cara-cara persuasif, seperti penerbitan surat ketetapan pajak (bea masuk) kurang bayar hingga cara-cara yang lebih tegas seperti Surat Paksa hingga lelang aset. Sepanjang kedua cara tersebut sudah bisa mengembalikan hak negara, delik pidananya tidak perlu lagi.

Apakah salah menggunakan KUHP maupun UU Antikorupsi untuk menangani masalah penyelundupan? Rasanya tidak salah. Sebagai produk hukum yang bersifat umum, jelas delik-delik pidana yang ada dalam UU Pajak maupun UU Kepabeanan juga termasuk dalam domain hukum KUHP maupun UU Antikorupsi.

Namun, penerapan KUHP untuk kasus atau modus yang sebenarnya merupakan domain hukum lex specialist, apakah tidak akan merusak tatanan hukum secara keseluruhan?

Yang perlu dipertanyakan masuknya para penagak hukum bidang pidana umum ke bidang pidana khusus itu, semata-mata dilatarbelakangi ketidakpuasan mereka terhadap kinerja PPNS atau putusan hukuman yang diberikan kepada pelanggar atau ada motif lain di balik itu?

Pembagian tugas

Jika alasannya ketidakpuasan terhadap PPNS dan sanksi yang dijatuhkan, ini relatif mudah mencari solusinya. UU Kepabeanan dan UU Pajak yang mengatur tentang itu sedang digodok ulang di DPR untuk memberikan jaminan yang lebih tegas. Tapi jika ada motif lain yang menjadi latar belakang. Bukan rahasia lagi, kasus-kasus perbankan, pajak, penyelundupan jauh lebih menarik dibandingkan kasus pencurian ayam, kasus pencopet di Pasar Tanah Abang atau pembunuhan berantai sekali pun.

Namun, kalangan penegak hukum pidana umum jangan hanya melihat daya tariknya. Tapi perlu pula dilihat dampak ikutannya yang bisa berdampak luas. Selain itu, dalam kasus-kasus tersebut selalu berlaku hukum ekonomi high risk, high income.Income di sini jangan selalu dikaitkan dengan uang semata, tapi juga bisa berupa prestasi kerja, popularitas, promosi dan sebagainya.

Apa kurang hebatnya Suyitno Landung (mantan Kepala Bareskrim Polri), toh dia harus tersandung kasus L/C fiktif BNI, apa kurang hebatnya jaksa yang menangani kasus Ahmad Junaidi (mantan dirut Jamsostek) sehingga harus dipermalukan dan dilempar dengan papan nama?
Para penegak hukum perlu duduk bersama, merumuskan kembali batas-batas mana yang termasuk domain hukum lex specialist (pajak, pabean, perbankan dll) dan mana yang domainnya hukum lex generalist.

Sebab tanpa pembatasan yang jelas akan terjadi tumpang tindih penanganan perkara yang berujung pada semakin kacaunya hukum di Indonesia. Jika penegak hukum pidana umum ramai-ramai masuk ke wilayah pidana khusus, lalu siapa nanti yang akan menangani masalah-masalah hukum pidana umum? Apa jadinya jika PPNS menangani kasus maling, pencopetan, pembunuhan dan sebagainya. Ketidakpastian hukum akan bertambah-tambah. (parwito@bisnis.co.id)

Oleh Parwito Wartawan Bisnis Indonesia
Sumber: Bisnis Indonesia, 10 Juli 2006




0 komentar:

Posting Komentar

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity