16 September 2009

Model Ideal Penyelesaian Sengketa

MENCARI MODEL IDEAL PENYELESAIAN SENGKETA,
KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PERADILAN PERDATA
DAN UNDANG UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999



oleh Budhy Budiman

Pendahuluan

Perselisihan atau pertengkaran atau persengketaan merupakan suatu keadaan yang tidak dikehendaki oleh setiap orang sehat akal dan fikiran. Artinya jika ada orang yang senang berselesih/bersengketa, dapat dipastikan bahwa orang itu tidak waras.

Akan tetapi dalam pergaulan di masyarakat, dimana kita hidup di tengah orang yang berbeda tabiat dan kepentingan, kita pasti tidak akan bisa sama sekali tidak berhadapan dengan perselisihan. Perselisihan itu bisa disebabkan oleh hal yang sepele, dan tidak mempunyai akibat hukum apapun, seperti perbedaan pendapat dengan isteri/suami tentang penentuan waktu keberangkatan ke luar kota atau bisa pula merupakan persoalan serius dan mempunyai akibat hukum, misalnya tentang batas tanah dengan tetangga atau perselisihan atas perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.

Suatu perselisihan itu muncul kepermukaan, antara lain disebabkan karena masing-masing merasa benar, merasa berhak atas apa yang diperselisihkan. Sebab kalau salah satu pihak dari yang berselisih merasa bersalah dan tahu tidak berhak atas sesuatu yang diperselisihkan, perselisihan itu tidak ada atau berakhir tatkala ketidakbenaran dan ketidakberhakkannya disadari.

Di dalam pergaulan masyarakat, kedamaian adalah merupakan idaman setiap anggota masyarakat. Kedamaian akan terwujud antara lain kalau aneka kepentingan yang berbeda dari masing-masing anggota masyarakat tidak saling bertabrakan/bertentangan. Pertentangan kepentingan itulah yang menimbulkan perselisihan/persengketaan dan untuk menghindari gejala tersebut, mereka mencari jalan untuk mengadakan tata tertib, yaitu dengan membuat ketentuan atau kaedah hukum, yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat, agar dapat mempertahankan hidup bermasyarakat. Dalam kaedah hukum yang ditentukan itu, setiap orang diharuskan untuk bertingkah laku sedemikaian rupa, sehingga kepentingan anggota masyarakat lainnya akan terjaga dan dilindungi. Apabila kaedah hukum itu dilanggar, maka kepada yang bersangkutan akan dikenakan sanksi atau hukuman.

Adapun yang dimaksudkan dengan kepentingan seperti disebut di atas adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata yang diatur dalam hukum perdata materil. Hukum perdata (materil) itu menjelma dalam undang-undang atau ketentuan yang tidak tertulis, merupakan pedoman bagi masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat. Ketentuan-ketentuan seperti: "Siapa yang mengambil barang milik orang lain dengan niat untuk dimiliki sendiri secara melawan hukum....dan sebagainya", "siapa yang karena salahnya menimbulkan kerugian kepada orang lain diwajibkan mengganti kerugian kepada orang lain tersebut", itu semuanya merupakan pedoman atau kaedah yang pada hakekatnya bertujuan untuk melindungi kepentingan orang.1

Pelaksanaan dari hukum perdata (materil) dapat berlangsung secara diam-diam diantara para pihak yang berinteraksi, tanpa harus melalui instansi resmi. Namun acapkali terjadi hukum perdata (materil) itu dilanggar, sehingga ada pihak yang dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat. Dalam hal ini maka hukum materil perdata yang telah dilanggar itu haruslah dipertahankan dan ditegakkan.

Untuk melaksanakan hukum perdata (materil) terutama dalam hal ada pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum perdata (materil) dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan hukum lain, yaitu yang disebut hukum formil atau hukum acara perdata.

Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materil dengan perantaraan kekuasaan negara. Perantaraan negara dalam mempertahankan dan menegakkan hukum perdata materil itu terjadi melalui peradilan. Cara inilah yang disebut dengan Litigasi.

Di samping melalui Litigasi, juga dikenal alternatif penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan yang lazim disebut non litigasi. Hal yang terakhir ini dimungkinkan selain karena peraturan perundang-undangan, juga karena pada dasarnya dalam cara Litigasi, inisiatif berperkara ada pada diri orang yang berperkara (dalam hal ini penggugat). Dengan kalimat lain ada atau tidak adanya sesuatu perkara, harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa, bahwa haknya atau hak mereka dilanggar, yaitu oleh penggugat atau para penggugat.2

Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hukum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded). Lamban dan buang waktu (waste of time). Biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum. Atau dianggap terlampau formalistik (formalistic) dan terlampau teknis (technically).3

Mengingat hal itu, penulis dengan rendah hati mengetengahkan pandangan kritis terhadap praktek peradilan, untuk secara bersama-sama mencari model penyelesaian sengketa yang lebih baik.

Sistem Peradilan Harapan dan Kenyataan

Penyelesaian perselisihan (perkara) perdata yang sederhana, cepat dan murah adalah dambaan kita semua. Dambaan itu disadari oleh pembentuk undang undang di negara Republik Indonesia yang kita cintai ini, sebab pada tanggal 17 Desember 1970 itu dinyatakan dalam pasal 5 ayat 2 Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 , yang berbunyi sebagai berikut: "Dalam perkara perdata Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan."

Penyebutan angan-angan itu juga termuat dalam Penjelasan Umum Angka 8 dari UU nomor 14/1970 sebagai suatu moto peradilan, yang secara lengkap berbunyi: "Ketentuan bahwa: PERADILAN DILAKUKAN DENGAN SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN" tetap harus dipegang teguh yang tercermin dalam undang undang tentang Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata yang termuat peraturan-peratuiran tentang pemeriksaan dan pembuktian yang jauh lebih sederhana."

Namun angan-angan tersebut ternyata sangat sulit untuk diwujudkan dalam kenyataan, bahkan dalam praktiknya pelaksanaan peradilan perdata semakin jauh dari angan-angan. Terbukti pada belakangan ini muncul suara parau dan agak sumbang mencerca lembaga peradilan sebagai penyelesai masalah yang menimbulkan masalah. (tidak seperti slogan peradilan mengatasi masalah tanpa masalah).

Kritik tajam terhadap lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya yang dianggap terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), mahal (very expenxive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum serta dianggap terlampau formalistik (formalistic) dan terlampau teknis (technically) menurut Yahya Harahap4 pada masa sekarang bersifat mendunia. Sama-sama mendapat lontaran kritik di semua negara.

Itu sebabnya masalah peninjauan kembali perbaikan sistem peradilan ke arah yang efektif dan efisien, terjadi dimana-mana. Sistem peradilan Inggris dianggap lambat dan mahal (delay and expensive), sehingga penyelesaian perkara yang dihasilkan dianggap putusan yang tidak adil (injustice). Bahkan muncul kritik yang mengatakan bahwa proses perdata dianggap tidak efisien dan tidak adil (civil procedure was neither efficient no fair).

Apabila kritik terhadap peradilan itu benar adanya, maka diperlukan perbaikan-perbaikan. Secara menarik Satjipto Rahardjo5 menguraikan agar pengadilan dapat menjalankan fungsinya sesuai harapan, yaitu pertama-tama para warga masyarakat haruslah bergerak untuk memanfaatkan jasa yang dapat diberikan oleh lembaga ini. Mereka harus senantiasa bersedia untuk membawa perkara-perkaranya ke depan pengadilan untuk diselesaikan.

Ada bermacam-macam alasan yang dapat menjadi pendorong sehingga warganegara bersedia untuk membawa perkara-perkaranya itu. Alasan-alasan tersebut diantaranya adalah:
• Kepercayaan, bahwa di tempat itu mereka akan memperoleh keadilan seperti mereka kehendaki.
• Kepercayaan, bahwa pengadilan merupakan lembaga yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup dan nilai-nilai utama lainnya lagi.
• Bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia.
• Bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar-benar memperoleh perlindungan hukum.

Sementara itu pada tahun 1985 Lord Hailsham (dibantu oleh sebuah panitia),6) mengemukakan usul perbaikan sistem peradilan, terutama yang berkenan dengan proses penyelesaian perkara perdata dan bisnis. Usul yang dikemukakan, mencoba memadu unsur-unsur sistem “manajemen” kedalam acara perdata. Dengan harapan akan terwujud suatu sistem peradilan yang efesien dan produktif. Usul yang dikemukakan Lord Hailsham ini, oleh sementara kalangan dianggap proposal dan radikal (radical proposal).

Usul tersebut antara lain :
• Penggabungan peradilan tingkat pertama (country court) dengan peradilan tingkat banding (high court). Kedua tingkat peradilan tersebut “terintegrasi” yang disebut dengan “one court system” atau “unified court system”, atau disebut juga “one court entry system”.
• “Full pre-trial disclosure”. Maksudnya, pada saat gugatan diajukan, sekaligus dibarengi dengan pengajuan bukti-bukti, termasuk keterangan para saksi (Witness statements). Jalannnya pemeriksaan perkara diatur dengan sistem manajemen, berupa “time takle” yang terprogram, agar dapat dihindari biaya mahal dan pemeriksaan yang berlarut-larut.
• Untuk mencapai produktivitas penyelesaian perkara, diperlukan penambahan anggaran biaya untuk membiayai tambahan “jam persidangan setiap hari” (extra hour’s setting per day) pada setiap tingkat peradilan. Paling tidak, harus ada penambahan ekstra sidang 25% dari biasa.
• Mengembangkan sistem baru, berupa “in court arbitration system”. Sistem ini perpaduan proses ligitasi dengan arbitrase. Kasus gugat perdata yang nilai gugatan antara å.1.000 sampai å.5.000.
• diselesaikan melalui arbitrase yang bertindak sebagai arbitrater ialah hakim sendiri dengan demikian, putusan yang dijatuhkan langsung “final and banding” dan tertutup upaya banding dan kasasi.

Beberapa Alternatif Penyelesaian Sengketa

Mekipun perselisihan atau sengketa merupakan sesuatu yang tidak dikehendaki, pada kenyataannya sulit untuk dihindari meskipun derajat keseriusan berbeda-beda. Pada dasarnya perselesihan yang terjadi dalam masyarakat diselesaikan secara musyawarah mufakat Pengadilan sebagai salah satu cara penyelesaian yang paling populer akan selalu berusaha untuk dihindari, karena selain proses dan jangka waktunya yang relatif lama dan berlarut-larut serta dengan berbagai kelemahan yang telah dikemukakan di atas.

Apabila kita baca rumusan pasal 1 angka 10 dan alenia ke sembilan dari Penjelasan Umum Undang Umndang nomor 30 tahun 1999, dikatakan bahwa masyarakat dimungkinkan memakai alternatif lain dalam melakukan penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Sementara itu yang dimaksud alternatif penyelesaian sengketa adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.

Alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut akan segera diuraikan di bawah ini.

1. Konsultasi
Meskipun konsultasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa tersebut dalam Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, namun tidak ada satu pasalpun yang menjelaskannya.
Dengan mengutif Black’s law Dictionary, Gunawan dan Widjaya dan Ahmad Yani7) menguraikan bahwa pada prinsipnya Konsultasi merupakan tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yang merupakan “konsultasi”, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang mengharuskan si klien mengikuti pendapat yang disampaikan konsultan. Jadi hal ini konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.

2. Negosiasi dan Perdamaian
Menurut pasal 6 ayat 2 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 pada dasarnya para pihak dapat berhak untuk menyelesaiakan sendiri sengketa yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak. Negosiasi adalah mirip dengan perdamaian sebagaimana diatur dalam pasal 1851 s/d 1864 KUH Perdata, dimana perdamaian itu adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan mana harus dibuat secara tertulis dengan ancaman tidak sah. Namaun ada beberapa hal yang membedakan, yaitu:
Pada negosiasi diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan Penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang bersengketa. pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang bersengketa.
Perbedaan lain adalah bahwa negosiasi merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan pengadilan dilakukan maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

3. Mediasi
Berdasarkan pasal 6 ayat 3 Undang Undang Nomor 39 tahun 1999, atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan “seorang atu lebih penasehat ahli” maupun melalui seorang mediator. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah pinal dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik,. Kesepakatan tertulis wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilakasanakan dalam waktu lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
Mediator dapat dibedakan:
• mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak
• mediator yang ditujuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak.

4. Konsiliasi dan perdamaian
Seperti pranata alternatif penyelesaian sengketa yang telah diuraikan di atas, konsiliasipun tidak dirumuskan secara jelas dalam Undang Undang nomor 30 tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakan proses legitasi, melainkan juga dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berjalan, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa dimana telah diperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.8)

5. Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase
Pasal 52 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 menyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari Lembaga Arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari pengertian tentang Lembaga Arbitrase yang di berikan dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang nomor 30 tahun 1999:
“Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”
Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.

6. Arbitrase
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui artibrase tetap dipebolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.
Menurut pasal 1 angka 1 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:

Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjain tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo) atau Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut pasal 5 ayat 1 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu ayat 5 (2) nya memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
Dalam penjelasan umum Undang Undang nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan.

Keunggulan itu adalah:
dijamin kerahasiaan sengketa para pihak dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif para pihak dapat memilih arbiter yang menurut pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

Menurut Prof. Subekti9) bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa ia dilakukan:
• dengan cepat
• oleh ahli dari
• secara rahasia
Sementara itu HMN Purwosutjipto10) mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah:
• Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
• Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
• Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
• Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perushaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.

D. Penutup
Di tengah runtuhnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan, kiranya perlu diusahakan untuk melakukan perbaikan, baik pada aturan perundang-undangannya maupun sarana dan prasarananya, termasuk pula didalamnya moralitas (ini mungkin yang paling penting) sumberdaya manusia yang terlibat secara langsung dalam peradilan. Meskipun lembaga peradilan sebetulnya merupakan suatu yang asing bagi bangsa Indonesia karena ia diperkenalkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, tapi faktanya dan keberadaannya sudah tidak dapat dihindari.
Sebagai suatu lembaga terdepan yang menjadi cermin dimana orang dapat melihat kehidupan hukum di Indonesia dijaga, dipelihara agar tidak mengalami kemunduran serta cacad. Dalam hubungan ini, maka kemorosotan dan cacad apapun juga yang dialamatkan ke Pengadilan, seperti korupsi dan lain-lain sedapat mungkin dicegah. Usaha itu adalah usaha besar yang perlu didahulukan secara terus menerus.
Lembaga lain, seperti Konsultasi, Negosiasi, Konsiliasi dan Arbitrase sebagai pranata alternatif penyelesaian sengketa yang didahulukan berdasarkan Undang Undang nomor 30 tahun 1999 perlu dikembangkan dan dimasyarakatkan, karena pada dasarnya kita tidak ingin bersentuha dengan konflik, bahkan, numpuknya perkara di Badan Peradilan, lambat tapi pasti, kalau lembaga-lembaga alternatif Penyelesaian sengketa tersebut akrab di masyarakat, Insya Allah bisa dikurangi.

DAFTAR PUSTAKA
R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Jakarta: BPHN-Binacipta, 1981.
Soetjipto Rahardjo, Perumusan Hukum di Indonesia, Bandung: Alumni, 1978.
-----------------, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980
-----------------, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Bandung: Alumni, 1976.
HMN Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang, jilid 8, Jakarta: Jambatan, 1988.
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997.
-----------------, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahn Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997.
Agnes M. Toor dkk, Arbitrase di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra Adutya Bakti, 1996.
Ny. Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oerip Kartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 1995.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1988.
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Jakarta: Rajawali Press, 2000.


0 komentar:

Posting Komentar

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity